Harga Jagung Anjlok ke Rp 3.500 Per Kilo, Janji Bupati Kanis Tuaq Soal Bulog Hanya Omong Kosong

KERESAHAN kini membuncah di tengah masyarakat petani Lembata. Musim panen jagung hibrida yang seharusnya membawa harapan justru berbuah kekecewaan. Harga jual jagung di tingkat petani anjlok drastis, hanya dihargai Rp 3.500 per kilogram. Angka ini jauh dari janji manis Bupati Lembata yang sebelumnya menyebut pemerintah akan menggandeng Bulog untuk membeli jagung petani dengan harga Rp 5.500 per kilogram.

“Katanya ada kerjasama dengan Bulog, tapi sekarang kami semua jual murah ke tengkulak. Dimana pemerintah?” ujar Ambo Balawala, petani di Kecamatan Ile Ape kepada katawarga.id, Selasa 10 Juni 2025.

Menurut dia, janji manis untuk menghadirkan skema pembelian jagung oleh Bulog disebut hanya sebatas retorika tanpa realisasi di lapangan.

Para petani yang telah menggelontorkan biaya besar untuk menanam jagung hibrida kini gigit jari. Biaya produksi yang tinggi tak sebanding dengan harga jual yang diterima.

“Kami tanam dengan pupuk mahal, kerja buka lahan, sampai beli benih hibrida. Tapi harga panen lihat saja, malah bikin rugi. Janji bupati waktu kampanye itu ke mana?” tanya Ambo.

Lebih parahnya lagi, menurut dia, para tengkulak justru memanfaatkan situasi ini dengan membeli jagung dengan harga semena-mena. Petani tak punya pilihan selain menjual murah karena tidak adanya intervensi pasar dari pemerintah daerah.

Janji Tinggal Janji

Bupati Lembata, Petrus Kanisius Tuaq sempat menyatakan dalam beberapa kesempatan bahwa Pemkab akan bersinergi dengan Bulog untuk menyerap hasil panen jagung masyarakat. Namun hingga kini, tak ada kejelasan teknis maupun realisasi konkrit dari pernyataan tersebut. Tidak ada titik kumpul jagung, tidak ada harga acuan yang dikawal, dan yang paling mencolok, Bulog tak pernah muncul di tengah petani.

Kasmin Ola, petani lainnya di Ile Ape bahkan menyebut bahwa anjloknya harga jagung merupakan kegagalan sistemik akibat lemahnya perencanaan dan tidak adanya keberpihakan anggaran terhadap sektor hulu pertanian.

“Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada seremoni tanam perdana dan panen simbolik. Intervensi harga dan pasar itu lebih penting,” ungkapnya.

“Jangan sampai petani terus menjadi korban janji politik,” tegasnya.

Desakan Transparansi dan Tindakan Nyata

Masyarakat kini mendesak Pemkab Lembata untuk membuka informasi secara transparan terkait kemitraan dengan Bulog yang pernah dijanjikan. Mereka juga menuntut langkah cepat agar jagung petani tidak terus terjual murah dan mengakibatkan kerugian massal.

“Jangan tunggu kami turun demo. Kalau pemerintah terus diam, kami akan datangi kantor bupati,” ancam seorang tokoh tani di Kecamatan Lebatukan.

Di tengah gejolak ini, masyarakat Lembata menanti lebih dari sekadar kata-kata. Mereka butuh aksi nyata. Karena bagi petani, jagung bukan sekadar komoditas—itu adalah hidup mereka.(*)