Tunjangan DPRD Lembata Jebol Asas Kepatutan, Skandal Baru di Tengah Krisis Daerah

PERATURAN Pemerintah Nomor 1 Tahun 2023 sebenarnya sudah memberikan pagar besi yang kokoh bahwa tunjangan pimpinan dan anggota DPRD wajib berlandaskan lima asas-kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat, dan standar luas rumah negara. Aturan itu jelas, tegas, dan wajib dipatuhi. Namun di Kabupaten Lembata, pagar itu jebol seketika, ditabrak dengan keputusan politik yang lebih mementingkan kenyamanan elit ketimbang keadilan bagi rakyat.

Buktinya? Melalui Keputusan Bupati Lembata Nomor 453 Tahun 2023, para anggota DPRD Lembata diguyur tunjangan transportasi Rp17,4 juta per bulan dan tunjangan perumahan Rp9,6 juta per bulan. Angka yang tidak hanya mencolok, tapi juga terasa seperti tamparan bagi rakyat Lembata yang masih hidup di tengah keterbatasan air bersih, jalan rusak, dan minimnya layanan publik.

Padahal, harga sewa rumah dan kendaraan di Lembata jauh di bawah angka yang ditetapkan. Artinya, tunjangan itu bukan sekadar tidak wajar, tapi juga terang-terangan melanggar asas kepatutan, kewajaran, dan rasionalitas.

Lebih parah lagi, pemberian tunjangan jumbo ini dilakukan ketika PAD Lembata masih rendah, daerah dibebani hutang pinjaman PEN, dan pemerintah pusat sedang menggaungkan efisiensi anggaran.

Ironisnya, sempat ada upaya pemangkasan melalui Perbup Nomor 61 Tahun 2024 yang menurunkan tunjangan transportasi menjadi Rp9 juta dan perumahan Rp6 juta. Namun langkah korektif itu kandas setelah dicabut oleh Perbup Nomor 1 Tahun 2025, sehingga DPRD kembali berenang di atas gelimang tunjangan jumbo.

Aturan sebenarnya jelas, perhitungan tunjangan perumahan mestinya berdasarkan rumus sewa 2,75% dari nilai aset Barang Milik Negara dengan luas rumah sesuai standar negara. Sementara tunjangan transportasi dihitung dari rata-rata biaya sewa mobil di pasar lokal. Tetapi, di Lembata, aturan hanya jadi pajangan, asas diperlakukan seperti sampah, sementara uang rakyat diperas untuk kenyamanan segelintir elit.

Situasi inilah yang membuat Forum Parlemen Jalanan Lomben (Formalen) murka. Mereka menilai tunjangan jumbo tersebut adalah bentuk pemborosan anggaran yang mengkhianati rasa keadilan masyarakat.

Formalen tegas menyatakan menolak tunjangan transportasi dan perumahan DPRD Lembata yang dibayar berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 453 Tahun 2023, sekaligus mendesak transparansi semua jenis tunjangan dan honorarium Bupati dan Wakil Bupati Lembata.

Ihwal itu, tuntutan Formalen tidak main-main, beberapa di antaranya:

Pertama; Mendesak Bupati Lembata segera memangkas tunjangan DPRD sesuai asas kepatutan, kewajaran, dan rasionalitas.

Kedua; Meminta pimpinan DPRD menempati rumah jabatan yang disediakan dalam waktu 3×24 jam atau aksi akan digelar di rumah pribadi mereka.

Ketiga; Menuntut Bupati mengumumkan besaran seluruh tunjangan dan honorarium Bupati dan Wakil Bupati agar dinilai publik.

Keempat; Memberi tenggat 1 minggu untuk melaksanakan tuntutan, jika tidak, Formalen siap menduduki kantor Bupati dan DPRD.

Bagi Formalen, langkah ini bukan sekadar protes, tapi strategi penyelamatan anggaran daerah. Di tengah hutang menggunung dan kebutuhan rakyat yang tak terpenuhi, pemangkasan tunjangan jumbo adalah kewajiban moral, bukan pilihan.

Dengan narasi ini, jelas, DPRD Lembata sedang hidup dalam kemewahan yang tidak masuk akal, sementara rakyat dipaksa menonton dari bawah garis kemiskinan. Formalen sudah mengangkat suara. Tinggal, apakah Bupati dan DPRD berani bercermin pada asas hukum yang mereka sendiri langgar, atau terus memilih hidup nyaman di atas penderitaan rakyat? Semoga.(*)