Menanam Hidup di Tanah Merah, Jejak IDEP dan BARAKAT Merawat Ketangguhan Komunitas

EMPAT tahun setelah Badai Seroja menghancurkan dua desa di kaki Gunung Ile Lewotolok, semangat warga Desa Waimatan dan Lamawolo, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, perlahan bangkit. Di lokasi relokasi yang kini dikenal dengan nama Tanah Merah, masyarakat menata ulang kehidupan mereka dengan dukungan berbagai pihak.

Salah satunya datang dari Yayasan IDEP Selaras Alam dan lembaga mitranya BARAKAT. Dua lembaga ini menggagas program Disaster Resilience through Education, Adaptation, and Mitigation Strategies (DREAMS). Melalui pendekatan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRB), program ini berupaya memperkuat kapasitas masyarakat agar lebih tangguh menghadapi bencana dan perubahan iklim.

Program ini lahir dari pengalaman pahit warga saat Badai Seroja 2021, sehingga Idep dan Barakat bertekad mengedukasi masyarakat agar punya kemampuan mengantisipasi risiko, beradaptasi, dan membangun ketahanan dari dalam komunitas mereka sendiri.

Pasca dilanda banjir bandang, dua desa itu mengalami kerusakan besar. Selain rumah dan fasilitas publik hingga korban nyawa, lahan pertanian warga turut hancur, menyebabkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan. Pemerintah kemudian merelokasi dua desa itu ke kawasan baru yang disebut Tanah Merah, dan membangun rumah instan sederhana sehat tahan (RISHA) untuk seluruh keluarga.

Namun, adaptasi di wilayah baru tidak selalu mudah. Kondisi lahan yang berbeda dan ketidakpastian cuaca akibat perubahan iklim menjadi tantangan baru bagi warga. Di sinilah peran program DREAMS terasa nyata. Lewat pelatihan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRB), pembentukan Kelompok Masyarakat Peduli Bencana (KMPB), serta penerapan permakultur, warga dibekali keterampilan baru untuk memanfaatkan lahan sempit di sekitar rumah mereka menjadi sumber pangan dan penghidupan. Pendekatan berbasis komunitas ini dinilai relevan dan menjadi solusi konkret di tengah absennya lahan pertanian pasca relokasi.

Dalam program DREAMS tersebut, IDEP dan BARAKAT juga menempatkan masyarakat sebagai subjek utama perubahan. Mereka mendorong warga mempraktikkan pertanian berkelanjutan, mengelola air secara efisien, dan menanam kembali keanekaragaman hayati lokal. Prinsipnya sederhana: bertahan bukan dengan melawan alam, tetapi dengan hidup selaras alam.

Sebagai bagian dari refleksi atas capaian program, kedua lembaga itu menggelar Festival Tanah Merah di Kabupaten Lembata, Jumat (7/11/2025). Kegiatan ini menjadi ruang pertemuan masyarakat dan pemerintah daerah, serta mitra pembangunan untuk berbagi pengalaman, menampilkan inovasi, serta memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam membangun ketangguhan.

Beragam kegiatan digelar dalam festival tersebut, mulai dari lokakarya yang menampilkan hasil, dampak, dan praktik baik program, hingga pameran produk lokal, pentas seni, dan pemutaran film dokumenter tentang perjalanan DREAMS. Format kegiatan dibuat inklusif agar masyarakat menjadi subjek utama sekaligus penerima manfaat langsung.

Festival ini juga menjadi momentum peluncuran DREAMS Fase Kedua, yang rencananya akan berlangsung pada Januari–Oktober 2026. Program lanjutan ini mendapat dukungan Caterpillar Foundation melalui Myriad USA dengan fokus memperkuat pendidikan, adaptasi, dan mitigasi bencana berbasis komunitas di Desa Waimatan dan Lamawolo.

“Dukungan ini sangat penting bagi IDEP untuk memperluas dampak positif program di berbagai wilayah,” ujar Bernando Halauwet, Manajer Departemen Penelitian dan Pengembangan IDEP.

Program DREAMS tidak hanya berorientasi pada pengurangan risiko bencana, tetapi juga mendorong kemandirian ekonomi masyarakat melalui praktik pertanian berkelanjutan. Tujuan utamanya adalah membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya adaptasi dan mitigasi berbasis pengetahuan lokal.

IDEP Selaras Alam sendiri merupakan lembaga nirlaba nasional yang fokus pada pengembangan masyarakat dan lingkungan melalui pendekatan permakultur serta penanggulangan bencana berbasis komunitas. Sementara BARAKAT, LSM lokal di Lewoleba, berdiri dengan visi menciptakan keselamatan melalui relasi multi pihak yang berkelanjutan.

Sinergi kedua lembaga ini memperlihatkan bahwa membangun ketangguhan tidak cukup dengan membangun rumah, tetapi juga membangun kesadaran dan kapasitas manusia. Di Tanah Merah, semangat itu tumbuh seiring dengan harapan baru warga yang pernah kehilangan segalanya.

Kini, di tengah ladang-ladang kecil yang kembali hijau, warga Waimatan dan Lamawolo menatap masa depan dengan lebih yakin. Dari tanah yang dulu porak-poranda, mereka belajar bahwa ketangguhan bukanlah sekadar bertahan dari bencana, melainkan kemampuan untuk bangkit bersama dengan hidup selaras alam.(*)