LEMBATA – Orang Lembata sering menyebut wilayah desa Bakalerek, Paubokol, Desa Belobatang dan Udak dengan frasa ‘Jalur Tengah’. Daerah yang masuk Kecamatan Nubatukan ini masih dikelilingi hutan dan sebagian lahan pertanian milik warga.
Kesuburan di daerah jalur tengah tak terbantahkan. Beragam hasil pertanian dihasilkan para petani di wilayah jalur tengah, seperti jagung, ubi, sayur-sayuran, kemiri, buah-buahan, beraneka ragam tanaman holtikultura dan teranyar tanaman porang.
Selain untuk kebutuhan harian, hasil pertanian yang berlimpah ini juga biasa dipasarkan di Kota Lewoleba. Sayangnya, produktivitas pertanian di wilayah ini tidak sebanding dengan infrastruktur jalan dari jalur tengah menuju Kota Lewoleba. Jalur Tengah masih sangat terisolasi.
Ruas jalan di wilayah ini bertahun-tahun sangat memprihatinkan. Jalannya sempit di antara rimbunnya pepohonan; berpasir, berbatu, berlumpur dengan medan yang berliku-liku dan penuh tanjakan. Di saat musim hujan, situasinya bahkan lebih parah, muncul banyak kubangan berlumpur.
Akses jalan antar kampung atau menuju ke Kota Lewoleba bisa saja putus total. Ini menyulitkan warga mengangkut komoditi dari kampung ke pasar di Kota Lewoleba atau bahkan keluar pulau. Dampak ekonomi dari keadaan infrastruktur seperti ini cukup dirasakan warga.
Padensius Rimon, seorang supir mobil pick up dari desa Belobatang, merupakan salah satu warga yang merasakan dampak dari infrastruktur yang buruk.
Setiap pagi, Rimon mengangkut komoditi pertanian milik warga Belobatang untuk dibawa ke pasar Pada, Lewoleba. Dia memberi tarif Rp 10 ribu per karung komoditi dan Rp 60 ribu per penumpang.
Jarak Belobatang-Lewoleba hanya 13 kilometer. Tapi, karena jalannya rusak berat, waktu tempuhnya lebih lama. Dia bisa menghabiskan waktu 3 jam untuk bisa sampai ke Kota Lewoleba. Pengeluaran untuk operasional mobil juga cukup besar.
“Ban mobil saja tidak sampai satu bulan harus ganti. Sementara, harga satu ban mobil mencapai Rp 750 ribu,” ujarnya.
Sudah bertahun-tahun, Rimon melayani para petani di desa Belobatang yang mau menjual produksi pertaniannya. Dia berharap pemerintah tidak tutup mata dengan situasi jalur tengah yang masih terisolasi.
Jika pemerintah tak sanggup memperbaiki keseluruhan jalan, Rimon hanya minta tiga titik jalur kritis yang selalu sulit dilewati mobil yakni di daerah Nuba, Kasawako dan Klibang. “Kalau bisa perbaiki tiga titik itu saja dulu,” pintanya.
Sekretaris desa Belobatang, Zakarias Djuang, punya harapan yang sama supaya pemerintah bisa membuka akses di wilayah jalur tengah yang semakin terisolasi saat musim hujan.
Menurutnya, infrastruktur yang buruk berdampak secara ekonomi kepada masyarakat yang mayoritasnya adalah petani. Biaya akomodasi komoditi ke pasar juga otomatis meningkat.
“Kalau tiba-tiba longsor, atau di wilayah yang rawan jalannya rusak, orang tidak bisa berjualan lagi,” katanya.
Dana Inpres Buka Isolasi Jalur Tengah
Padensius Rimon sendiri mengaku, dana Inpres yang digelontorkan Presiden Jokowi memberikan dampak besar terhadap pembangunan infrastruktur jalan di jalur tengah.
Jika di tahun-tahun sebelumnya, akses jalan di kawasan tersebut terkategori parah dan buruk, kini, jalur tengah di Lembata itu mulai tersentuh aspal.
Rimon mengungkapan, sejak proyek infrastruktur jalan dari Simpang Waikomo-Belobatang-Wulandoni itu dikerjakan, masyarakat mulai rutin membawa komoditi perkebunan untuk di jual ke Kota Lewoleba.
Begitu juga dengan para pedagang sembako, dan pengepul komoditi di Lewoleba juga tampak bergairah mengunjungi jalur tengah untuk membeli aneka hasil bumi di sana.
“Ada perubahan, kami bisa bawa komoditi keluar,pengusaha juga bisa datang ke desa timbang hasil,” sebutnya kepada wartawan, Senin 25 September 2023.
Selain komoditi, jalan hotmiks yang sedang dikerjakan di jalur tengah itu memberi dampak terhadap efisiensi waktu bagi masyarakat.
Jika dahulu, kendaraan roda dua dan empat membutuhkan waktu tiga hingga empat jam ke Kota Lewoleba, kini lebih cepat.
Begitu juga dengan kebutuhan BBM yang digunakan kendaraan semakin lebih irit.
“Dulu butuh waktu tiga jam ke Lewoleba, sekarang selisih satu jam saja, bahan bakar (Solar) juga dulu 15 ribu, sekarang bisa irit sampai 5 ribu,” terangnya.
Keberpihakan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten seperti ini, menurut Rimon, musti diberi apresiasi.
Dia membayangkan, jika tidak ada dana Inpres, maka kawasan jalur tengah yang dulunya dikenal sebagai salah satu lumbung komoditi di Lembata akan tetap terisolasi dan hanya tinggal nama.
“Terima kasih kepada Presiden Jokowi karana dia perhatikan kami sampai disini, di kampung Uruor ini,” tandasnya.
Camat Nubatukan, Dion Ola Wutun juga meyebut, bahwa proyek infrastruktur jalan di jalur tengah menjadi berkat bagi masyarakat di sekitar wilayah itu.
“Karena itu (jalan) yang mereka rindukan selama ini,” terangnya.
Menurut Dion, akses jalan yang bagus yang sedang dikerjakan itu akan bawa perubahan luar biasa terhadap produktivitas masyarakat di sektor jasa dan bisnis.
Semua komoditi di jalur tengah yang selama ini sukar dibawa keluar, hari-hari ini sudah mudah dijual.
Mulai dari para petani, pedangan sembako dan pengusaha di Kota Lewoleba yang hendak membeli hasil bumi di wilayah jalur tengah juga semakin lebih ramai karena akses jalan sudah mulai bagus.
“Mereka merasa ada sesuatu baru yang bisa dongkrak ekonomi mereka,” imbuhnya.
Sebagai informasi, anggaran proyek peningkatan infrastruktur jalan Simpang Waikomo-Belobatang-Wulandoni ini bersumber dari APBN Murni tahun 2023 sebesar Rp39.042.854.000.
Peningkatan jalan dengan produk akhir hotmiks ini dikerjakan oleh PT Anak Lembat Group, salah satu perusahan jasa konstruksi terbaik di NTT dengan masa pelaksanaan 147 hari kalender dan masa pemeliharaan 365 hari kalender.(Red)