No Result
View All Result
DI SEBUAH kampung kecil di Adonara, Nusa Tenggara Timur, ada seorang perempuan yang tak pernah lelah menanam harapan di tanah kering berbatu. Namanya Maria Loretha, perempuan yang kini dikenal luas dengan sebutan “Mama Sorgum.”
Dengan langkah tenang dan suara penuh keyakinan, ia kembali tampil di layar kaca nasional melalui program “Bincang Kita” Kompas TV, Jumat (26/9/2025), membawa pesan kuat tentang cinta pada alam dan kemandirian pangan lokal.
Acara yang dipandu Amanda Hajj itu mengangkat tema “Pangan Lokal, Masa Depan Nusantara dan Warisan Budaya ke Meja Makan.” Bersama dua narasumber lain — Restu Gunawan, Dirjen Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi, serta Puji Sumedi H., praktisi pemberdayaan masyarakat di bidang pangan berkelanjutan — Loretha berbicara tentang sesuatu yang ia hidupi setiap hari: sorgum.
“Ya, ini yang kami alami selama ini. Mengajak anak muda untuk kembali ke kebun dan makan makanan lokal itu tidak mudah,” ucapnya pelan, namun tegas.
Ucapan itu seperti mencerminkan perjalanan panjangnya selama bertahun-tahun menanam sorgum di lahan tandus yang dulu dianggap tidak produktif.
Loretha tahu, tantangan terbesar bukan hanya pada tanah — tapi pada pola pikir.
Anak-anak muda kini lebih sibuk di dunia maya, sementara tanah tempat mereka berpijak perlahan terlupakan. Karena itu, ia percaya pendidikan sejak dini adalah kunci.
“Pemerintah perlu membuat muatan lokal tentang dongeng, makanan lokal, tentang alam, gunung, dan budaya kita. Dari situ tumbuh rasa percaya diri anak-anak bahwa makanan lokal ini baik dan berharga,” ujarnya.
Baginya, sorgum bukan sekadar tanaman pangan. Ia adalah simbol ketahanan, kebanggaan, dan keberlanjutan.
“Artinya sorgum ini bukan sekadar ditanam saja, tapi bagaimana dari hulu sampai hilir bisa selesai, bisa dikonsumsi,” jelasnya dengan mantap.
Di tengah perbincangan, Loretha menunjukkan sereal sorgum produksi UMKM Sorgum Flo dari desanya di Waiotan, Kecamatan Adonara Barat.
Dengan penuh rasa bangga, ia bercerita tentang manfaat sereal ini yang luar biasa:
“Produk ini sangat baik untuk bayi, balita, lansia, penderita lambung, diabetes, kanker, tiroid, dan anak-anak autis,” ujarnya sambil memperlihatkan kemasan sederhana hasil tangan perempuan-perempuan desa.
Namun, dibalik butir-butir sorgum itu, tersimpan filosofi mendalam tentang perempuan yang menanam bukan hanya benih, tapi kehidupan.
“Perempuan punya peran penting di sini. Mereka yang menanam, mengolah, hingga memasarkan. Dan anak muda harus ikut mempromosikan, agar sorgum menjadi bagian dari kehidupan mereka,” tegasnya.
Maria Loretha percaya, sorgum bukan pangan alternatif, tapi pangan masa depan.
Ia mencintai sorgum bukan karena tren, melainkan karena keyakinan bahwa tanaman ini mampu hidup di mana harapan hampir mati.
“Dari sisi ekologi, dia sangat ramah lingkungan, tidak perlu pupuk dan air banyak, dan bisa tumbuh di lahan kering berbatu,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar soal pangan, sorgum bagi Loretha adalah cara untuk menyambung kembali nilai-nilai lama yang hampir terlupakan.
“Sorgum menyambung romantisme adat yang sudah hilang,” katanya, matanya berbinar.
Melalui tangan-tangan perempuan desa dan semangat anak muda yang mulai tumbuh, Loretha terus menyalakan api kecil perubahan.
Dari tanah Adonara yang keras, ia menanam bukan hanya sorgum, tapi juga kebanggaan dan masa depan.
Hari itu, di layar Kompas TV, kisah Maria Loretha bukan sekadar tayangan bincang-bincang.
Ia adalah refleksi tentang bagaimana kemandirian pangan sesungguhnya dimulai — bukan dari kebijakan besar di kota, tetapi dari seorang perempuan sederhana yang percaya bahwa perubahan bisa tumbuh dari butir sorgum di ladang kering.
Dan di setiap butir sorgum itu, ada cinta. Ada keteguhan. Ada harapan.(*)
No Result
View All Result