DPRD Ramai-Ramai Gugat Kebijakan Bupati Kanis, Desak Tinjau Kembali Pencopotan Kapus Loang

LANGIT birokrasi Lembata kembali kabur. Aroma ketidakadilan menyeruak dari balik dinding Puskesmas Loang, tempat seorang kepala puskesmas berprestasi, Fransiska Listiyanti Toja, dihukum bukan karena gagal, tapi justru karena terlalu berhasil.

Anggota DPRD Kabupaten Lembata kini ramai-ramai angkat suara. Dari kursi legislatif mereka menilai, keputusan Bupati Petrus Kanisius Tuaq membebastugaskan Fransiska dari jabatan Kepala Puskesmas Loang dinilai tidak hanya keliru, tapi juga melukai akal sehat birokrasi.

Politisi senior dari dua partai besar yakni, Tinus Pukan (PDI Perjuangan) dan Yosef Boli Muda (PKB) tampil tegas memprotes kebijakan yang mereka sebut tidak bijak dan penuh kejanggalan.

“Tidak ada pelanggaran berat yang dia lakukan. Sebenarnya, ini ada apa?,” sindir Tinus dengan tegas, Kamis 16 Oktober 2025.

Kekecewaan mereka bukan tanpa alasan. Fransiska, sosok perempuan yang membawa Puskesmas Loang meraih Akreditasi Paripurna dari Kemenkes RI, sebuah predikat tertinggi di antara puskesmas di Lembata, justru dinonaktifkan hanya karena telaahan dari 12 pegawai, dari total 87 orang staf yang ia pimpin. Ironisnya, salah satu dari 12 pegawai pengadu itu kini malah diangkat sebagai Pelaksana Harian (Plh) menggantikan Fransiska.

“Ini kebijakan yang tidak logis dan berpotensi mencederai keadilan birokrasi,” tegas Tinus.

Lebih jauh, Yosef Boli Muda menyebut ada aktor di balik layar. Dia menilai, ada seorang oknum pegawai yang punya kepentingan pribadi dalam menjatuhkan Fransiska.

“Saya tahu betul siapa dalangnya. Dia satu dari ke-12 orang yang membuat telaahan. Ini perbuatan jahat, penuh intrik dan minim substansi,” ujarnya.

Dari dokumen telaahan yang beredar, tuduhan terhadap Fransiska terlihat sepele, bahkan cenderung tendensius. Tidak ada pelanggaran berat, tidak ada penyalahgunaan wewenang dan tidak ada kesalahan fatal. Yang ada justru indikasi sentimen pribadi dan kecemburuan terhadap figur perempuan yang berprestasi dan tegas memimpin.

Sementara itu, catatan prestasi Fransiska berbicara lebih keras dari telahaan. Di bawah kepemimpinannya, Puskesmas Loang menyumbang PAD Rp 91,9 juta (2023) dan Rp 109 juta (2024). Ia menciptakan inovasi Gelekat Naga (Gerakan Layanan Kesehatan Terpadu) yang membuat posyandu hidup kembali hingga pelosok Nagawutung.

Program ini bahkan diapresiasi Dinas Kesehatan karena menjadi model pelayanan terpadu di Lembata.

Fransiska juga berhasil menurunkan angka stunting dari 65 menjadi hanya 19 kasus, dengan 7 desa kini berstatus zero stunting.

Lewat inovasi Kalender Mama dan Kalender Mamih, ia mengubah pendekatan gizi ibu hamil dan balita menjadi lebih terukur dan partisipatif.

Bahkan, di tahun 2024, ia dinobatkan sebagai Tenaga Kesehatan Teladan Nasional dan membawa nama Lembata hingga ke Singapura.

“Orang seperti ini justru yang dibutuhkan daerah. Tapi kenapa malah disingkirkan,” ungkap Tinus.

Dari 18 desa di Nagawutung, para kepala desa, BPD, dan masyarakat bersuara bulat. Mereka ingin Fransiska kembali. Dalam setiap kunjungan kerja, Tinus dan Yosef mendengar keluhan yang sama yakni keputusan Bupati dianggap mencederai rasa keadilan publik.

Namun di tengah sorotan itu, Bupati Kanis Tuaq memilih diam. Dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp, ia hanya menjawab singkat.

“Koordinasi dengan dinas, antara prestasi diikuti dengan kenyamanan dll,” kata Bupati Kanis.

Jawaban yang kabur, seolah ingin menutupi sebuah keputusan yang kehilangan logika.

Publik Lembata bertanya, apakah prestasi di negeri ini memang harus dibayar dengan pencopotan? Ataukah birokrasi telah menjadi tempat di mana kerja keras kalah oleh bisik-bisik intrik kecil di koridor kekuasaan?

Fransiska mungkin hanya seorang kepala puskesmas di sudut Nagawutung. Tapi kisahnya telah menjelma menjadi cermin buram birokrasi Lembata, di mana loyalitas dan prestasi tak lagi jadi ukuran, tapi siapa yang paling lihai mengatur narasi di telinga penguasa.(*)