No Result
View All Result
TAMAN Kota Swaolsa Tite, ruang terbuka hijau yang seharusnya menjadi milik publik, kini menyeret nama-nama yang berafiliasi langsung dengan kekuasaan. Ironisnya, taman yang menjadi simbol estetika dan kebersamaan warga Kota Lewoleba itu kini justru berubah menjadi panggung permainan politik balas jasa.
Camat Nubatukan, Dionisius Ola Wutun, secara terbuka menyatakan kegeramannya terhadap pengelolaan Swaolsa Tite yang saat ini dipegang oleh kelompok yang disebut-sebut sebagai tim sukses Bupati dan Wakil Bupati Lembata, Petrus Kanisius Tuaq dan Muhammad Nasir La Ode.
Tak hanya itu, penasehat dari kelompok pengelola taman tersebut diduga merupakan keluarga dekat sang bupati berinisial PK.
Belakangan, dari penuturan sejumlah pedagang di taman Swaolsa, mereka menyebut bahwa PK adalah Piter Kuma yang merupakan adik kandung dari Bupati Kanis Tuaq.
“Ini jelas mencederai prinsip keadilan dalam pengelolaan aset publik,” kata Camat Dion dalam keterangannya, Selasa 29 Juli 2025.
Masalah tak berhenti di situ. Camat Dion menyinggung adanya indikasi pelanggaran serius, yakni tidak adanya penyetoran retribusi daerah selama kegiatan pasar malam yang digelar sejak 14 Mei hingga 15 Juni 2025.
“Langkah ini keliru. Saya tolak. Pengelolaan taman kota bukan ruang bagi pendekatan informal atau jalur belakang. Harus ada dasar hukum, MoU, dan mekanisme yang benar,” tegasnya.
Kegeraman Dion semakin memuncak setelah mengetahui bahwa para pengelola tidak menyetor retribusi sepeser pun selama event Pasar Malam yang digelar sejak 14 Mei hingga 15 Juni 2025. Padahal menurut Perda Nomor 1 Tahun 2024, penyelenggara kegiatan wajib membayar retribusi sebesar Rp 500 ribu per malam. Dengan demikian, total potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 15 juta diduga raib.
Tidak hanya itu, pengelolaan parkir oleh CV Dakara Prima juga dipertanyakan legalitasnya. Tiket parkir yang beredar tidak mencantumkan dasar hukum pungutan, padahal lahan parkir berada di atas aset milik pemerintah daerah. Praktik ini mengindikasikan kuatnya aroma penyalahgunaan wewenang dan potensi tindak pidana.
Melihat situasi ini, Dion menyatakan telah melayangkan surat kepada Bupati Petrus Kanisius Tuaq pada 28 Juli 2025. Dalam surat itu, ia mendesak Biro Hukum Setda Lembata untuk segera melakukan somasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam dugaan pelanggaran hukum tersebut.
“Saya tak akan diam. Kalau tidak kooperatif, saya akan lawan,” tegasnya lanjut.
Selain soal retribusi, tiket parkir yang dikeluarkan oleh CV Dakara Prima—entitas yang juga tak jelas dasar penunjukannya—tidak mencantumkan aturan hukum sebagai dasar pungutan. Padahal, lokasi parkir tersebut adalah bagian dari aset pemerintah daerah. Hal ini menambah deretan indikasi bahwa taman kota telah berubah fungsi: dari ruang publik menjadi ladang bisnis gelap yang diberkahi kekuasaan.
Tak hanya Dion, kritik paling tajam juga datang dari Warga Diaspora Lembata di Jakarta, Daniel Dai Witin. Menurutnya, pelibatan pihak ketiga sebetulnya sah dan bisa positif jika dilakukan secara profesional dan transparan. Tapi dalam kasus ini, Daniel menyebut praktik yang terjadi justru adalah bentuk pembajakan aset negara.
“Yang dikelola bukan oleh pihak ketiga yang kompeten, tapi kelompok tak jelas yang ingin cari untung semata. Lebih parah lagi, penunjukannya tanpa mekanisme resmi. Ini bentuk kekuasaan yang dibagi sembarangan ke kroni, dan itu sangat berbahaya,” ujar Daniel.
Kini publik menanti, apakah Bupati Petrus Kanisius Tuaq akan memberikan klarifikasi dan bertindak tegas, atau justru membiarkan Taman Swaolsa Tite menjadi simbol nyata dari rusaknya tata kelola, kronisme, dan pembiaran atas penyalahgunaan aset daerah.
Taman Kota ini milik rakyat. Tapi kini, siapa sebenarnya yang menikmatinya?(*)
No Result
View All Result