DALAM hitungan kurang dari delapan hari lagi, masa 100 hari kerja Bupati Lembata Kanis Tuaq dan Wakil Bupati Muhammad Nasir akan berakhir.
Namun, alih-alih diisi gebrakan nyata yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, euforia program kerja seratus hari terasa hanya menguap dalam seremoni dan simbolisme belaka.
Menurut Wakil Ketua DPRD Lembata, Frans Gewura, sejak dilantik, pemerintah daerah tampak sibuk menampilkan pencitraan lewat peresmian dan peluncuran program yang hingga kini belum membuahkan hasil konkret bagi masyarakat.
Dua program unggulan yang kerap digadang Bupati Kanis dalam berbagai kesempatan menurutnya adalah launching Pembelian Jagung Hibrida milik Petani Lembata pada 2 Mei 2025, dan peluncuran Ayam Beku Produk Lembata di 16 Mei 2025.
Namun saat ini, kata dia, publik bertanya-tanya, kapan jagung rakyat itu benar-benar dibeli oleh pemerintah. Apakah jagung yang dibanggakan hanya sekadar launching, tanpa tindak lanjut distribusi dan pembelian nyata di lapangan?
Begitu pula dengan Ayam Beku Lembata, publik mempertanyakan kelayakannya. Dari sisi kualitas dan kuantitas, apakah produk lokal ini sudah siap bersaing dengan pasokan ayam beku dari luar Lembata yang selama ini mendominasi pasar? Tidak kalah penting, adakah kajian matang soal rantai distribusi, strategi pemasaran, basis konsumen, serta sumber dana berkelanjutan?
“Hemat saya, kedua program ini terlalu prematur. Terlalu tergesa-gesa diluncurkan hanya demi mengejar angka seratus hari kerja, tanpa menyentuh akar masalah dan kesiapan infrastruktur pendukung,” ungkapnya kepada katawarga.id, Rabu 21 Mei 2025.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lembata ini juga mengatakan bahwa, di tengah gegap gempita peluncuran program-program tersebut, persoalan mendasar di depan mata justru terabaikan.
Beberapa yang paling mencolok adalah sampah menumpuk di berbagai sudut kota, penerangan jalan yang minim membuat masyarakat resah, dan para pedagang ikan serta sayur masih semrawut berjualan di bahu jalan tanpa penataan yang manusiawi.
Sederet momok tersebut, kata Frans, sebabkan Kota Lewoleba yang seharusnya menjadi wajah Lembata, justru tampak kumuh dan kehilangan nilai estetis.
Dia menghendaki, program seratus hari itu semestinya menjadi momentum akselerasi kerja nyata, bukan sekadar panggung seremoni politik.
“Masyarakat kini menanti apakah Kanis-Nasir akan menutup periode 100 hari ini dengan warisan konkret, atau hanya dengan rangkaian peristiwa yang riuh tapi hampa?,” sindir Frans.
Tak hanya DPRD, kritik pedas terhadap program 100 hari itu juga datang dari Pemerhati Sosial Lembata, Rian Naur.
Rian berujar, yang terlihat dari program 100 hari Bupati Kanis dan Wabup Nasir sepanjang ini hanyalah seremoni, bukan solusi.
Ia menilai, Bupati Kanis yang diusung Partai PAN dan Wabup Nasir dari Partai Nasdem terlalu sibuk dengan panggung pencitraan.
“Jagung dan ayam beku itu belum jelas alurnya. Apa rakyat sudah merasakan manfaatnya? Belum. Ini bukan prestasi, ini kosmetik politik,” ucapnya kepada katawarga.id, Rabu 21 Mei 2025.
Rian menambahkan bahwa peluncuran program tanpa kesiapan hanya akan menjadi beban, bukan jawaban.
“Kita tidak bisa menjual harapan tanpa perhitungan. Ini seperti menjual angin,” tegasnya.
Ia juga menyoroti problem-problem mendasar yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari warga justru luput dari perhatian. Sampah berserakan tanpa pengelolaan serius, penerangan jalan masih gelap gulita di banyak titik, dan penataan pedagang kaki lima di pusat kota dibiarkan semrawut, mencoreng wajah Lewoleba.
“Jangan sibuk jual mimpi, sementara kota makin kotor, jalanan gelap, rakyat masih sulit akses BBM Subsidi. Kalau ini yang disebut 100 hari kerja, maka rakyat berhak kecewa,” tegasnya, kesal.