DI SELA sela kabut pagi yang menyelimuti perbukitan Adonara Barat, langkah kaki kecil anak-anak sekolah masih meninggalkan jejak di jalan berbatu. Derap langkah mereka menyatu dengan suara dengus nafas, ketika harus mendaki tanjakan demi tanjakan. Namun sebentar lagi, pemandangan itu akan berubah. Jalan tanah yang berliku, curam, dan licin itu akan berganti wajah: mulus beraspal hotmix.
Puluhan tahun lamanya, masyarakat Desa Woloklibang, Ile Pati, dan Demon Dei hanya bisa bermimpi tentang jalan aspal. Jalan sepanjang 10 kilometer lebih dari Simpang Hurung menuju desa-desa di kawasan pegunungan, selama ini adalah simbol keterasingan. Jalan sempit, rawan longsor, dan tak jarang harus dilalui dengan menggulung celana hingga lutut untuk menyeberangi kali saat hujan tiba.
“Kami biasa jalan 30-40 menit. Kalau musim hujan harus lewat kali, celana digulung supaya tidak basah, belum lagi mendaki lewat jalan batu-batu,” kata Emerensiana Martina Barek, guru SDK Demon Dei kepada katawarga.id, Jumat 22 Agustus 2025.

Ia mengaku kerap harus berangkat subuh hanya agar tiba tepat waktu di sekolah, sebelum anak-anak muridnya berdatangan.
Lumbung Komoditi yang Terbelenggu
Wilayah pegunungan Adonara Barat bukan sekadar kantong penduduk. Desa-desa ini adalah lumbung komoditi bernilai tinggi: kemiri, pinang, kakao, cengkeh, hingga vanili. Namun, akses jalan yang buruk membuat hasil bumi itu seakan terperangkap. Untuk menjualnya ke pasar di Waiwadan, ibu kota kecamatan, warga harus menempuh waktu berjam-jam. Biaya angkut jadi membengkak, nilai jual komoditi tergerus.
“Komoditi paling banyak itu dari sini. Tapi karena jalan jelek, susah sekali orang bawa hasil ke Waiwadan atau Waiwerang,” ujar Anselmus Sili, mantan Kepala Desa Woloklibang dua periode ketika ditemui katawarga.id di desa Woloklibang, Jumat 22 Agustus 2025.

Anselmus masih ingat betul bagaimana tahun 2004 mereka secara swadaya membuka jalur dari Simpang Hurung ke Woloklibang hingga Demon Dei. Hanya bermodalkan tenaga warga dan sedikit dana desa, jalan itu tetap jauh dari kata layak. Bantuan pemerintah pun datang dalam jumlah terbatas—hanya cukup memperbaiki beberapa segmen kritis dengan rabat semen.
“Kami teriak-teriak minta bikin jalan, tapi APBD tidak seberapa. Baru sekarang kami bisa lihat harapan,” katanya penuh lega.
Guru, Ibu Hamil, dan Jalan Berbahaya
Bagi para guru dan tenaga kesehatan, jalan buruk itu bukan sekadar cerita klasik melainkan tantangan nyata yang mengancam keselamatan. Musim hujan berarti jalur licin, longsor, dan kali meluap yang harus diseberangi. Tak jarang, ibu-ibu hamil harus dibopong warga beramai-ramai untuk mencapai Puskesmas di Waiwadan.

 
	    	














 
		     
                                
 
                                 
                                 
                                






 
							

