Oleh: Gregorius Duli Langobelen (Pemerhati Sosial & Politik, Dosen Filsafat dan Etika UNIKA Atma Jaya Jakarta)
CARBERUS dalam mitologi Yunani adalah seekor anjing berkepala tiga dan berekor ular yang setia melayani Hades, dewa dunia bawah yang cenderung diasosiasikan dengan kejahatan. Dalam hidupnya, Cerberus ditugaskan oleh Hades untuk mencegah yang hidup mengintervensi dunia bawah dan yang mati pergi melenggang ke dunia atas. Semuanya demi menjaga kerahasian bahkan kuasa tersembunyi dunia. Dalam beberapa mitos, Cerberus bahkan diberi kuasa untuk menghakimi jiwa orang mati.
Cerberus dikatakan hampir mustahil untuk dikalahkan. Dia diyakini sangat kejam, bahkan para dewa pun takut padanya. Dia dikenal bisa menyemburkan api dan digambarkan memiliki banyak kepala dan ekor ular. Salah satu dari sedikit orang yang pernah melewati Cerberus adalah pahlawan Heracles. Menurut cerita, Heracles dikirim dalam misi oleh Eurystheus, raja Mycenae. Dia diperintahkan untuk membawa Cerberus kembali ke raja secara hidup-hidup. Heracles pergi ke dunia bawah dan melawan Cerberus, akhirnya menaklukkannya dengan kekuatan dan kebijaksanaannya. Dia kemudian membawa Cerberus kembali ke raja.
Bagaimana kisah Cerberus dibaca dalam konteks persoalan etika sosial di Lembata sehingga dapat kita paparkan apa yang tidak kita bicarakan ketika kita berbicara tentang kematian bayi asal Desa Kolontobo? Siapakah Cerberus? Siapakah Hades? Dan Bagaimana kebijaksanaan Heracles memberi inspirasi dalam menaklukan apa yang senyap atau tengah disenyapkan di dunia bawah? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab, bukan karena berita tentang kematian bayi asal Desa Kolontobo-Ile Ape tersebut kian menggemparkan dan mengundang persepsi dan reaksi publik yang variatif, melainkan terutama sebagai problem kemanusiaan yang wajib “diobati”.
Kematian Bayi = Kematian DPR di Peten Ina
Peristiwa kematian bayi asal Desa Kolontobo harusnya dilihat sebagai duka bersama, lebih dari itu bukan gorengan politik. Ini problem kemanusiaan yang tidak boleh ditutup-tutupi atau dihalang-halangi pembicaraannya di ruang publik. Tujuannya jelas, yaitu menjadi momen edukasi bagi publik, bahwa problem kemanusiaan di dunia medis bukan melulu konsumsi sepihak orang-orang kesehatan, tetapi juga menjadi isu bersama semua masyarakat. Dengan demikian dapat dibangun kesadaran kritis-advokatif dalam diri masyarakat banyak.
Jika ada yang mengatakan bahwa ini gorengan politik, pada saat yang sama mereka justru sedang menggiring opini publik ke dunia bawah yang politis dan membungkam intensi serta atensi publik dunia atas dalam membicarakan kemanusiaan secara etis.
Oleh karena itu, momen ini harusnya menjadi kesempatan baik bagi pemerintah, terutama DPRD dan pihak medis untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mutu praktik pelayanan kesehatan di Lembata. Bahwa standar profesionalisme harus diperkuat, peningkatan pengawasan, dan pengembangan sistem yang mendorong kolaborasi, pertukaran pengetahuan antarprofesional, hingga pertanggungjawaban yang akuntabel dan transparan perlu dilakukan segera. Ingat, kematian bayi bukanlah statistik. Di balik setiap angka ada cerita tragis yang mencerminkan kegagalan sistem yang seharusnya melindungi dan merawat.
Selanjutnya, fenomena bungkamnya para anggota DPRD Lembata untuk banyak kasus di Lembata termasuk kematian bayi ini, semakin menunjukkan bahwa para wakil rakyat kita tidak punya kebijaksanaan, kehilangan nyali, bahkan tak tahu berbuat apa-apa. Kegagalan para anggota DPRD untuk memberikan perhatian yang segera dan memadai terhadap isu kemanusiaan ini adalah contoh yang menyedihkan serentak menjijikkan dari bagaimana prioritas politik personal lebih banyak jauh dari realitas kebutuhan masyarakat komunal. Padahal, para anggota DPRD harusnya pertama-tama menyadari tugasnya sebagai seorang Heracles yang diutus oleh Rajanya yang adalah rakyat. Kita patut curiga: jangan-jangan anggota DPRD kita masing-masing punya kartu AS, sehingga tidak akan berani teriak keras selama ’ekornya’ dipegang oleh Cerberus atau ’pelaku’ lain dari dunia bawah yang terlibat?
Akhirnya peristiwa kematian bayi adalah juga peristiwa kematian suara utusan rakyat. Akan hal tersebut, kita tidak boleh membiarkan DPRD yang bisu atau klarifikasi normatif pihak tertentu menghalangi langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki situasi ini. Beberapa pihak mungkin akan mati-matian menjadi Cerberus, tetapi ruang untuk menjadi Heracles selalu ada.
Klarifikasi dan Politisasi di Hadapan Jejak Kekuasaan
Klarifikasi dari pihak RS. Damian yang diwakili oleh Sr. Regina, CIJ sangat tendensius atau memberi kesan pembelaan bagi pihak medis termasuk dokter seakan-akan menunjukkan bahwa tidak perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap mutu praktik pelayanan medis hari-hari ini. Apakah ada fakta lain yang disembunyikan sementara kita tahu bahwa memang kualitas pelayanannya belum ’memadai’? Kita tunggu audit obyektif dari pihak berwenang.
Namun, publik tentu punya persepsi dan pertanyaan interpretatif tersendiri, misalnya: jika hasil USG atau diagnosa menunjukkan kondisi terpapar penyakit menular tertentu atau kondisi tidak normal lain pada masa pra partus, berapapun levelnya, kenapa pasiennya diarahkan ke RS. Damian dan bukan ke RSUD Lewoleba yang fasilitas alkesnya lebih memadai? Apa karena alasan akomodatif dokter biar tidak pulang pergi RS. Damian-RSUD atau ada hal substansial lain? Hal-hal macam ini perlu diluruskan secara tegas, sebab sekali lagi persepsi publik tidak bisa dikontrol.
Apalagi ada perbedaan informasi resmi yang beredar. Jika dikomparasikan dengan catatan kronologis dari pihak Puskemas Waipukang, maka ditemukan bahwa anjuran SC elektif itu akan dilakukan pada tanggal 20 Juni, bukan 19 Juni. Keterangan Suster justru mengatakan pada tanggal 19 Juni dan seakan menyalahkan pihak keluarga, karena sempat kembali ke rumah terlebih dahulu. Padahal anjuran (baca: arahan) dari dokter adalah pasien akan dioperasi pada tanggal 20 Juni. Namanya anjuran, maka sifatnya opsional bukan wajib atau tanpa syarat. Lalu mana yang bisa dipercaya? Tentu pihak Puskesmas Waipukang tidak membuat keterangan yang datang dari imajinasi semata.
Klarifikasi dari suster secara tak langsung menjadikan pihak keluarga sebagai korban ganda: Pertama sebagai pihak yang berduka karena kehilangan buah hati dan kedua sebagai pihak yang salah karena menerjemahkan anjuran bukan sebagai perintah kategoris. Lebih herannya lagi, dalam kesempatan yang sama, suster justru mengklarifikasi hal-hal terkait proses pemeriksaan di K24? Apa itu memang ranahnya suster atau justru ranahnya dr. Jimmy atau siapapun sebagai pihak yang bekerja di sana? Apakah suster adalah humas dari RS Damian merangkap jubir dari K24?
Berhadapan dengan situasi ini, publik kemudian lebih dibuat bingung serentak curiga ketika mendapat klarifikasi langsung dari pihak korban. Klarifikasi tersebut dilakukan ketika korban melakukan kontrol di rumah sakit(?) sambil didampingi oleh suster dan direkam serta disebarkan oleh admin akun facebook Sahabat dr,Jimmy. Akun tersebut bukan akun pers legal atau juga media resmi RS. Damian, tetapi sebuah akun politis yang rutin menyebarkan kampanye politik pilkada dari dr. Jimmy. Sungguh sesuatu yang kontradiktif dan membingungkan. Dalam klarifikasi, korban menyampaikan kekecewaan mereka terkait peristiwa duka yang dipolitisir, tetapi justru klarifikasi tersebut disebarkan lewat media yang politis. Korban dirugikan untuk ketiga kalinya. Jadi, siapakah yang tengah memanfaatkan momen duka ini sebagai gorengan politik? Siapakah yang diuntungkan secara politis?
Penulis mencurigai klarifikasi terbaru dari pihak korban masih dibayang-bayangi oleh satu kenyataan sistemik yang menjamin relasi kuasa, sehingga muaranya pada pelanggengan praktik kekerasan simbolik. Terminologi kekerasan simbolik ini diperkenalkan oleh filsuf asal Prancis, Pierre Bourdieu. Bourdieu menjelaskan bahwa kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang tak kasat mata, tetapi dilanggengkan karena mendapat afirmasi atau persetujuan dari pihak yang dikuasai dan seringkali tidak disadari sebagai sebuah tindakan yang opresif. Artinya pihak korban sedang tidak sadar bahwa ia adalah korban. Adapun kekerasan simbolik selalu diproduksi oleh pihak yang berkuasa atau yang mendominasi dan beroperasi.
Penerimaan begitu saja dari pihak keluarga atas peristiwa kematian bayi mereka, dapat dilihat sebagai suatu ungkapan ketakberdayaan atau bahkan ketidaksadaran di hadapan tekanan kekuasaan simbolis dari pihak-pihak yang lebih dominan (dominan dari aspek pendidikan, status sosial, struktur jabatan, dll). Pihak yang dominan dalam situasi ini tentu saja adalah pihak rumah sakit yang diwakili oleh Suster yang adalah biarawati Katolik (tokoh agama) serta dr. Jimmy yang adalah bacalon bupati. Situasi yang demikian sejajar dengan pengalaman para perempuan Lamaholot yang kerap terbelenggu kekerasan budaya patriarki, tetapi mengamini itu sebagai pengalaman tanpa masalah. Contohnya, jika ada perempuan yang makan kemudian setelah laki-laki, maka mereka akan menerangkan bahwa itu sudah jadi kebiasaan atau habitus lumrah yang bukan jadi soal. Padahal itu adalah praktik yang keliru tetapi terkonstruksi menjadi seolah-olah benar demi bertahannya simbol kuasa adat yang diwariskan.
Menjadi Heracles dan Kembali kepada Etika Biomedis
Dari sekian poin reflektif di atas, penulis mengingatkan agar sesegera mungkin kita kembali kepada kesadaran kita akan tanggung jawab etis di ruang publik atau di ruang lain manapun. Dalam konteks persoalan medis etika medis menjadi salah satu dasar etis yang mesti diperkokoh.
Perlu diingat, etika biomedis menuntut satu sifat empati yang posisinya sama penting dengan penguasaan pengetahuan atau pemilikan teknologi kemedisan atau kedokteran. Artinya dalam pengalaman relasional antara dokter-pasien atau rumah sakit-pasien, selalu ada dua momen paralel, yaitu: pengalaman klinis (penyembuhan), dan perjumpaan etis (menguatkan, meneguhkan, mendukung, memberi harapan, bukan mengarahkan kepada keuntungan bisnis dokter dan kerugian ekonomis pasien). Jika semua ini diperhatikan, tentu saja kita dapat menjadi Heracles yang menaklukkan Cerberus secara bijaksana.