DALAM PILKADA 2024, fenomena mahar politik kembali mencuat sebagai topik yang hangat diperbincangkan.
Mahar politik, yang merupakan praktik memberikan sumbangan uang atau barang berharga kepada partai politik atau calon dalam konteks pemilihan umum, telah menjadi sorotan karena berbagai kontroversi dan dampak yang dihasilkan.
Salah satu peristiwa yang mencuat adalah adanya laporan tentang mahar politik yang melibatkan sejumlah calon kepala daerah.
Pemberitaan ini menyoroti kecenderungan meningkatnya mahar politik dalam kompetisi politik di tingkat lokal.
Para pengamat politik menilai bahwa praktik ini dapat memberikan dampak negatif terhadap demokrasi, karena potensi terjadinya ketergantungan calon terhadap pemberi mahar dan kurangnya transparansi dalam proses pemilihan.
Selain itu, mahar politik juga menimbulkan kekhawatiran terkait kesetaraan akses terhadap kontestasi politik. Calon yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya finansial cenderung mendominasi persaingan, sedangkan calon yang kurang mampu secara finansial dapat terpinggirkan meskipun memiliki potensi dan visi yang baik untuk memimpin.
Di sisi lain, beberapa pihak berpendapat bahwa mahar politik juga dapat memfasilitasi jalannya proses politik dengan memberikan dukungan finansial kepada calon yang memang memiliki program dan komitmen yang kuat untuk masyarakat. Namun, penyalahgunaan praktik mahar politik dan kurangnya regulasi yang ketat dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan memperkuat oligarki politik di tingkat lokal.
Dalam konteks ini, dibutuhkan langkah-langkah yang lebih tegas dari pemerintah dan lembaga terkait untuk mengawasi dan mengatur praktik mahar politik agar tidak merusak integritas dan kesehatan demokrasi dalam konteks pemilihan kepala daerah.
Transparansi dalam sumber dan penggunaan dana kampanye serta pengawasan yang ketat terhadap peran pihak-pihak terlibat dalam pemilihan menjadi kunci untuk mengurangi dampak negatif mahar politik dalam proses politik lokal.
Dalam sebuah wawancara eksklusif, beberapa pengamat politik ternama mengungkapkan pandangan mereka terkait fenomena mahar politik dalam Pilkada 2024. Menurut mereka, praktik mahar politik memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap proses demokrasi dan kualitas pemilihan kepala daerah.
Salah satu pengamat politik yang diwawancara, Profesor Ani Wijaya dari Universitas Politik Negara, menekankan bahwa mahar politik telah memengaruhi dinamika politik di tingkat lokal.
“Mahar politik dapat menghasilkan ketergantungan politik yang tidak sehat antara calon dengan pemberi mahar,” ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan akibat dari praktik tersebut.
Sementara itu, Dr. Budi Susanto, seorang analis politik independen, menambahkan bahwa mahar politik juga dapat merugikan calon-calon yang berkualitas namun kurang mampu secara finansial.
“Ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya finansial dapat mempersempit ruang bagi calon yang memiliki visi dan kapasitas untuk memimpin dengan baik,” katanya.
Pengamat-pengamat tersebut juga mengingatkan pentingnya peran lembaga pengawas pemilu dan regulasi yang ketat terkait dana kampanye untuk mengurangi praktik mahar politik yang merugikan.
“Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk mengawasi sumber dan penggunaan dana kampanye serta memberlakukan sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan,” tegas Profesor Ani.
Dengan sorotan dari berbagai kalangan, diharapkan bahwa perhatian terhadap masalah mahar politik dalam Pilkada 2024 akan mendorong upaya lebih lanjut untuk menjaga integritas, transparansi, dan kesehatan demokrasi dalam proses politik di tingkat lokal.(Redaksi/)
Catatan :Tulisan ini diambil dari beberapa artikelÂ