Oleh : Erich Langobelen, Dosen Filsafat Unika Atma Jaya, Jakarta.
TUGAS para wakil rakyat adalah yang berkaitan dengan pengawasan, penganggaran, dan legislasi. Tiga tugas dasar ini menjadi sangat penting dan saling mengandaikan.
Perlu diingat, dalam menjalankan fungsi tersebut, pengawasan bukanlah langkah terakhir, setelah dua fungsi lain disiasati atau dikondisikan secara licik. Ketiga fungsi dasar tersebut pada prinsipnya selalu sejajar atau beriringan. Artinya, dalam menyusun regulasi, yang juga mesti dipikirkan adalah sejauh mana aturan yang dihasilkan memperhitungkan asas kepatutan dan kelayakan yang mana dapat memastikan laju anggaran bisa disesuaikan dengan beban APBD, skema pembangunan dan skala prioritasnya, terutama yang dapat dialokasikan sebesar-besarnya kepada kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan DPR sendiri. Karena itu, DPR juga mesti “mengawasi diri” sejak dalam merumuskan regulasi dan merencanakan anggaran.
Namun, tentu saja harapan ini akan terwujud kalau DPR kita punya otak. Kalau soal hati, tidak perlu diharapkan lagi. DPRD dan pejabat di Lembata mana yang hatinya bisa ditebak? Hanya otak mereka saja yang bisa dengan mudah ditebak. Karena itu kita perlu curiga, jangan-jangan yang ada dalam isi kepala para wakil rakyat dan pejabat kita hanyalah kwitansi, bukan kualitas.
Apa yang kita saksikan belakangan bisa membenarkannya dan justru makin menunjukkan bahwa ada gejala yang tidak sehat dalam tubuh pemerintahan kita. Begitu pun penjabat bupati yang memilih bungkam ketika dimintai keterangan, seakan ingin main aman.
Lebih parah lagi dalam APBD murni 2024 sudah dianggarkan pengadaan mobil baru. Artinya, ini permainan banyak pihak. Bisa jadi ini kong kali kong yang sistemik dari kepala sampai para kaki tangannya, sebagai dosa kolektif yang dipelihara sekian lama.
Lihat saja, ketiga pimpinan DPRD yang lama, seakan-akan masih bernafsu memeras keuntungan di napas terakhir kepemimpinan. Begitupun para wakil rakyat dan pejabat yang baru ingin meneruskan watak serakah yang sama dengan menganggarkan mobil yang baru, tanpa peduli kondisi keuangan daerah yang sekarat. Ini serakah namanya.
Sialnya, tidak banyak dari pejabat-pejabat kita yang meributkan situasi ini, selain rakyat sendiri. Memalukan. Yang lama dan yang baru, sama saja. Semua punya target kepetingan sendiri. Ujung-ujungnya rakyat sendiri yang teriak menanggung beban.
Betul bahwa secara regulatif ada celah yang bisa melegalkan, tetapi mereka lupa bahwa hukum yang tidak memperhitungkan moralitas adalah hukum yang tidak manusiawi. Tiga pimpinan yang lama ini pun. Jangan serakah lah. Jangan memanfaatkan celah hukum yang ada, apalagi kalau selama memimpin tidak banyak jadi tokoh advokatif. Hanya berselancar di jalur aman. Jangan jadi pejabat yang legalis atau formalis, sampai-sampai lupa untuk jadi moralis. Untuk yang lama, “senyaman itukah kursi Pajero, sampai-sampai tak mau ditinggalkan?” Untuk yang baru, “semewah apa sih Pantat Anda, sehingga dianggap urgen untuk pengadaan mobil baru itu?Â
Semua juga tahu bahwa mobil dari pimpinan sebelumnya masih layak untuk pimpinan yang baru. Ini menunjukkan bahwa tidak ada upaya serius dari DPRD maupun Pemda, entah yang lama maupun baru, dalam mengatasi masalah pembangunan di Lembata. Padahal, kita semua sudah melihat sendiri: masih banyak kegagalan dalam pembangunan, tidak sedikit kecacatan dalam kebijakan, carut marut birokrasi tersebar di semua instansi, dan beban utang melilit sekian turunan. Tapi kenapa masih mau mengulang kesalahan yang sama? Jangan jadikan kabupaten ini sebagai ruang penuh drama. Lembata bukan ladang sapi perah.(Tim-Redaksi/)