MASYARAKAT di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pelaksanaan sosialisasi proyek geothermal yang berlangsung di Desa Nubahaeraka, Kamis 22 Agustus 2024.
Sosialisasi yang seharusnya menjadi ajang informasi yang lengkap dan transparan justru dinilai tidak memberikan penjelasan memadai terkait dampak lingkungan yang mungkin timbul dari proyek panas bumi tersebut.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan perusahaan pengembang (PLN), penjabat bupati Lembata, camat Atadei serta sejumlah masyarakat di Atadei, masyarakat di sana merasa bahwa fokus utama sosialisasi lebih pada aspek teknis dan potensi manfaat ekonomi dari proyek, sementara isu-isu krusial seperti potensi dampak terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat, serta keberlanjutan ekosistem di sekitar lokasi proyek tidak dibahas secara mendalam.
Beberapa perwakilan masyarakat yang hadir juga mengaku kecewa karena sosialisasi itu tidak menjawab kekhawatiran mereka terhadap sumber air, tanah, dan keanekaragaman hayati di lokasi yang jadi sasaran pengeboran panas bumi (proyek geothermal) itu.
“Kami tidak butuh janji-janji kesejahteraan ekonomi,” ungkap Melki, anak muda Atadei yang hadir saat itu.
Melki khawatir, proyek panas bumi itu bisa saja membawa dampak negatif terhadap lingkungan, seperti penurunan kualitas air tanah, kerusakan ekosistem, dan bahkan risiko bencana alam seperti tanah longsor atau gempa bumi akibat pengeboran.
Dia berharap pemerintah daerah segera turun tangan, menjembatani dialog yang lebih terbuka dan memastikan bahwa segala aspek terkait proyek geothermal, terutama dampak lingkungannya, harus dijelaskan dengan baik kepada warga.
Mereka juga menginginkan adanya partisipasi yang lebih aktif dari masyarakat dalam setiap tahap pengambilan keputusan terkait proyek ini.
Tak hanya itu, proses sosialisasi proyek geothermal juga menuai kritik keras dari masyarakat setempat karena dinilai tidak membahas secara mendalam isu-isu keadilan bagi masyarakat adat, yang menjadi salah satu elemen penting dalam keberlanjutan proyek panas bumi tersebut.
Masyarakat menilai, pelaksanaan sosialisasi ini terkesan mengabaikan hak-hak dan kearifan lokal yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat adat di wilayah itu.
Mereka merasa, proyek tersebut hanya dipaparkan dari sudut pandang ekonomi dan teknis, sementara aspek-aspek sosial dan budaya yang terkait erat dengan keberadaan masyarakat adat tidak mendapatkan perhatian yang layak.
“Masyarakat adat di sini memiliki kearifan lokal yang sudah dijaga turun-temurun. Proyek geothermal ini akan berdampak langsung pada tanah dan alam yang kami hormati sebagai identitas kami, tapi sosialisasi ini, kami tidak lihat ada komitmen dari PLN untuk melindungi hak-hak kami sebagai masyarakat adat itu,” ujar Ama Lamak, warga Atadei lainnya.
Masyarakat adat di Atadei menuntut agar hak mereka diakui dan dilibatkan dalam setiap tahap pengambilan keputusan terkait proyek itu. Mereka juga meminta adanya jaminan bahwa proyek geothermal tidak akan merusak tanah adat yang dianggap sakral dan bersejarah bagi mereka.
Menurut para tokoh masyarakat, ketiadaan pembahasan soal keadilan bagi masyarakat adat menunjukkan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya lokal. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial yang lebih besar di kemudian hari jika tidak segera ditangani dengan bijaksana.
Dikutip dari Floresa.com pada Jumat 23 Agustus 2024, Petrus Ata Tukan, tokoh adat Desa Atakore mengkhawatirkan ritual syukuran panen Ploe Kwar di Ina Kar “yang sewaktu-waktu bisa punah akibat proyek geotermal”.
“Mata air juga harus terus dijaga,” katanya, “karena bertalian dengan setiap tahap hidup warga adat setempat, mulai kelahiran hingga kematian.”
Petrus menyatakan, “tegas menolak tanah warga dijual ke PLN.”
Romo Firminus Doi Koban, Koordinator Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Keuskupan Larantuka yang wilayah pelayanannya termasuk Flores Timur dan Lembata bahkan mengingatkan PLN untuk tidak tergopoh-gopoh dan perlu duduk bersama warga di sekitar Ina Kar.
Menurutnya, pembangunan apapun yang melanggar keyakinan warga akan Ina Kar akan mendatangkan marabahaya.
Firminus juga meminta pihak PLN supaya lebih dulu bicara dengan semua kepala suku di Atadei. Pasalnya proyek eksplorasi dan sosialisasi yang dilakukan itu dianggap sangat sepihak.
Sementara itu Donatus Puhun, seorang warga Atakore juga mendorong agar pihak PLN perlu bertemu dengan para kepala suku dan meminta petunjuk sesuai keyakinan adat setempat.
Upaya itu, katanya, menjadi penting untuk menentukan boleh atau tidaknya eksplorasi geotermal di sekitar Ina Kar.
Ihwal ini, masyarakat Atadei mendesak pemerintah daerah perlu mengambil langkah proaktif dalam memastikan proyek geothermal itu berjalan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan sosial, khususnya bagi masyarakat adat. Mereka menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak adat sebagai syarat mutlak untuk keberlanjutan proyek ini dan kesejahteraan bersama.
Untuk diketahui, pemerintah mulai menargetkan proyek geotermal Atadei melalui Surat Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Nomor 1580/06/DJB/2008.
Pada 30 Desember 2008, Kementerian ESDM lalu menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi [WKP] dalam Keputusan Nomor 2966/K/30/MEM/2008.
Pengerjaan proyek itu terus digenjot menyusul langkah pemerintah yang berupaya memaksimalkan potensi geotermal di Flores hingga Lembata. Hal itu tampak dalam penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.
PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, di mana luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare, mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.
Proyek ini menargetkan energi listrik dengan kapasitas 10 MW yang direncanakan mulai beroperasi pada 2027.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores, Lembata dan Alor memiliki potensi panas bumi 902 Megawatt atau 65% dari potensi panas bumi di NTT. Potensi tersebut tersebar di 16 titik.(Tim-Redaksi/)