Gregorius Duli Langobelen (Analis Sosial dan Politik, Dosen Filsafat dan Etika Unika Atma Jaya Jakarta)
Telah begitu banyak masalah sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam kesejahteraan serta mencoreng status kemanusiaan dari masyarakat di NTT, termasuk masalah Geothermal yang hari-hari ini digugat dampak dan urgensinya, tapi di hadapan itu semua, banyak DPRD yang bungkam, tak paham harus berbicara apa, dan bahkan takut serta tak berdaya harus berbuat apa demi memenuhi aspirasi dan kebutuhan autentik masyarakat. Situasi ini hanya menunjukkan bahwa banyak DPRD di NTT yang layak diberi gelar pengangguran legislatif.
Sehari yang lalu kita benar-benar dibuat bingung, bertanya-tanya, bahkan dibuat jijik, ketika beberapa anggota DPRD NTT yang setelah melakukan kunkernya dengan tak ada beban menyatakan bahwa PLTP Ulumbu tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Pertanyaannya adalah dengan kajian, indikator, serta parameter macam mana para wakil rakyat kita ini membuat klaimnya? Sementara kita tahu bahwa hasil investigasi dan riset dari lembaga lain, JATAM dan JPIC-OFM, misalnya menunjukkan dengan jelas dan terukur, bahwa ada dampak lingkungan yang signifikan dan dikeluhkan langsung oleh masyarakat sejak sekian tahun sebelum kunker mereka hari-hari ini. Apakah DPRD kita lagi berbohong? Ataukah hanya lip service bagi dominasi kuasa tertentu?
Pertanyaan lanjutannya adalah sejauh mana para wakil rakyat ini membuat agenda kerja yang jelas dan terukur termasuk mengawas dan mengontrol secara regulatif problem geothermal ini? Bukankah proyek tersebut sudah beroperasi di Ulumbu sejak 2012? Jika tak ada agenda kerja yang jelas sejak dulu, apa bedanya mereka dengan pengangguran? Bahkan mereka justru melecehkan label pengangguran. Sebab pengangguran adalah individu atau kelompok yang ingin sekali bekerja, tapi tidak berkesempatan, sedangkan DPRD yang di atas justru berbuat sebaliknya.
Di Kabupaten Lembata pun demikian. Tidak sedikit DPRD yang jadi pengangguran legislatif, bahkan jadi “anak bawang” jika berhadapan dengan polemik proyek geothermal. Perlu diketahui izin prinsip geothermal di Lembata itu sudah ada sejak 2021 bersamaan dengan dokumen UKL-UPL, tapi sampai detik ini pun tidak terdengar tuntutan yang keras terkait ketiadaan dokumen AMDALnya; tidak juga dilihat kontrol yang ketat terkait obyektivitas kajian awalnya; bahkan tidak tahu menahu bagaimana isi sosialiasi terkait polemik dampak dan urgensi proyek tersebut. Pantas saja ditemukan bahwa sebagian isi dokumen UKL-UPL untuk Lembata ternyata sekadar dicopy paste dari dokumen UKL-UPL Ulumbu. Ironisnya penemuan plagiasi ini, justru bukan ditemukan ditemukan oleh Pemkab atau DPR, tapi oleh gerakan kolektif mahasiswa. Sialnya dokumen tersebut pun relatif baru beredar 1 bulan terakhir. Tak diketahui juga sejak 2021 dokumen tersebut mengendap di mana. Apakah terhenti di laci meja para pejabat? Kita tak tahu. Tapi kita patas menduga: jangan-jangan Pemda, terutama para wakil rakyat kita di lembaga DPRD ini memang pura-pura tidak tahu atau tidak peduli atau lebih mengutamakan kepentingan lain?
Lebih mirisnya lagi ketika ada indikasi bahwa pihak Pemda, DPRD, juga pendukung partisan mereka secara dangkal mengganggap geotermal hanya sekadar problem geologis atau pertambangan semata, karena itu seakan-akan yang layak berkomentar adalah orang-orang yang berpendidikan geologi atau pertambangan atau sejenisnya.
Mereka lupa bahwa di balik proyek ini terselip banyak isu tentang problem besar lain, yaitu:
Pertama, masalah kebijakan publik: telah sejauh mana pemerintah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, memetakan kekurangan dan potensi, menentukan skala prioritas pembangunan, menetapkan leading sector, merancang rencana strategis, hingga memproduksi kebijakan yang inklusif, solutif dan tepat sasar;
Kedua, di balik perizinan geotermal selalu ada masalah kebijakan ekonomi politik yaitu yang terkait degan dominasi oligarki dan intervensi kelompok kapital macam mana yang tengah terlibat dan berkepentingan dalam proyek tersebut. Artinya adakah penelusuran lebih jauh terkait jejaring investasi yang menggurita di belakangnya?;
Ketiga, pertimbangan ekologis macam mana yang menunjukan bahwa pemerintah punya kepedulian dan tanggungjawab terhadap lingkungan secara berkelanjutan. Jangan sampai konsentrasi Pemda dan DPR hanya pada iming-iming atau janji manis investor tentang nominal fantastis yang bisa dicubit bahkan dikorek dan dikeruk diam-diam dari proyek tersebut;
Keempat, antisipasi dampak sosial-budaya macam mana yang dipertimbangkan jika ruang sakral tanah ulayat digeser atau digusur. Sebab tentu akan ada relokasi untuk kelompok masyarakat adat tertentu, yang mana ketika memindahkan mereka, ada seperangkat culture value atau nilai budaya dalam bentuk simbol alam dan atau abstraksi keyakinan arkhais lokal pun mesti diturut-sertakan.
Nah, telah sesiap dan sepeka apa kita mengantisipasi dan selanjutnya menghadapi isu-isu tersebut?
Akan hal tersebut, saya menganjurkan agar DPRD mesti kembali kepada integritas jabatannya. Integritas seorang DPRD adalah kesadarannya tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar, karena ia tahu kalau melanggar, maka itu berarti ia tengah berkhianat terhadap prinsip-prinsip perjuangan ideologis-politisnya, sebagaimana janji-janji manisnya di masa kampanye. Prinsip-prinsip itu kemudian secara ideal masti mengerucut pada tiga tugas utamanya, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Jika tidak demikian, para wakil rakyat kita ini hanya akan nadi wakil rakyat yang kompromistis, menghasilkan litani kompromi, di mana kebijakan apapun jadi semacam hasil tawar menawar politik yang tidak didukung dengan argumentasi kompetisi dan kompetensi, tapi kalkulasi untung rugi pribadi atau kelompok. Tukar menukar ide dan gagasan di ruang kerja, dengan demikian hanya akan segera berubah jadi tawar menawar-dagang atau bisnis yang tidak didasarkan pada wacana apapun yg berkenan dengan kepentingan rakyat, yang justru demi keterwakilannya menyebabkan kerugian bagi banyak orang yaitu rakyat sendiri. Logika kerja legislatif jadi logika kerja bisnis.
Akhirnya, dalam kesadaran dan introspeksi kritis tersebut dapat diharapkan para wakil kita ini dengan segera mengambil langkah taktis lain yang kritis dan bijaksana. Misalnya: apabila tuntutan penolakan geothermal sebagai wujud gerakan kolektif-preventif dari rakyat ini benar-benar tak bisa diwujudkan, sehingga mau tak mau proyek berbahaya ini tetap berjalan karena dominasi kuasa tertentu yang demikian kuat mencengkeram dan tak terkalahkan, maka perlu dipikirkan secara serius bentuk edukasi dan advokasi macam mana yang bisa diberikan agar tak ada konflik berdarah yang merugikan? Lebih dari itu, kira-kira perangkat peraturan atau langkah strategis-regulatif macam mana yang sedapat mungkin diperjuangkan untuk mengontrol, terutama membatasi serentak memberi jaminan obyektif bahwa aktivitas proyek tersebut sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat dan demi kelangsungan lingkungan hidup?
Dengan demikian tidak ada lagi DPRD seperti PBW atau kroni-kroninya yang dengan enteng berkomentar bahwa “bukan tugas saya untuk mengedukasi masyarakat,” padahal edukasi apalagi advokasi itu justru datang dari fungsi pengawasan DPRD yang diwujudkan dalam bentuk “kajian atau kontrol pro aktif” terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan nasib masyarakat banyak.(*)