LEMBATA – Sejumlah Petani di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluh, lantaran jagung Hibrida yang dibeli oleh Offtaker sangat murah.
Menurut mereka, semestinya harga jagung yang dibeli oleh Offtaker harus diatas angka Rp.5.000 per kilo. Namun, kenyataan Offtaker hanya bisa membeli dengan harga 4.500 per kilo.
Kondisi ini menyebabkan sejumlah petani di kabupaten Lembata merana. Bahkan, beberapa dari mereka enggan menjual jagung hibridanya ke Offtaker.
Mereka berharap, Dinas Pertanian Kabupaten Lembata yang selama ini bermitra dengan PT Suaka Bumi sebagai Offtaker harus berani bersikap agar harga beli jagung hibrida di tingkat petani bisa dianggap wajar.
“Hampir satu hektar tapi harga dibawah, per kilo 4.000, belum hitung anggaran beli pestisida, pupuk, sewa orang kerja selama ini maka jauh lebih besar,” kata Mustapa, salah satu petani di kecamatan Ile Ape Timur kepada katawarga.id, Selasa 20 Juni 2023.
Linus Soromaking, petani asal desa Muruona di kecamatan Ile Ape ini juga mengaku kalau harga beli jagung hibrida selama ini masih terlalu murah.
Menurut dia, murahnya harga beli jagung ini membuat animo para petani untuk kembali menanam bibit hibrida di musim tanam yang akan datang semakin berkurang.
“Saya rasa kami petani rugi, sudah setengah mati tanam, harga hanya 3.000-3.500, lama-lama petani tidak mau tanam hibrida lagi,” ujar Linus.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Lembata Petrus Kanisius Tuaq ketika dikonfirmasi pada Senin 20 Juni 2023 menuturkan bahwa harga jagung hibrida yang selama ini dibeli oleh PT Suaka Bumi selaku Offtaker di Lembata disesuaikan dengan harga Nasional yakni Rp.5.000 per kilo.
“Offtaker patokan dengan harga pasaran pabrik.
Harga patokan pabrik itu sekitar Rp.5.000 tapi kalau di petani Rp.3.500, tapi karena koordinasi dengan PT Suaka Bumi maka harganya dinaikan,” katanya.
Terhadap keluhan petani terkait murahnya harga beli ini, Kanis Tuaq menganjurkan agar para petani di Lembata harus berani membuka lahan lebih besar lagi untuk menanam bibit hibrida.
Pasalnya, rata-rata petani di Lembata hanya memiliki lahan hibrida kurang dari satu hektar. Kondisi ini sebut Kanis Tuaq, berpengaruh terhadap hasil produksi disetiap musim panen.
Jika setiap petani memiliki lahan hibrida diatas 2-3 hektar maka hasil produksinya otomatis meningkat dan jumlah uang yang diterima juga tidak sedikit.
“Karena luas lahan kecil produksi juga sedikit. Kalau dia dapat 7 ton maka sudah 20-30an juta itu, macam begini petani mana yang tidak mau,” ungkap Kanis Tuaq.
Selaku kepala dinas pertanian, Kanis Tuaq menganjurkan agar skenario perluasan lahan tersebut harus bisa diterapkan oleh semua petani di Lembata karena hanya dengan cara itu para petani bisa mendapat untung lebih dan terlepas dari keluhan harga beli Offtaker.(Red)