NIMO TAFA Institut kembali menyelenggarakan Kelas Demokrasi Batch #7 bertajuk “Bincang Kemerdekaan: Pengetahuan Lokal dan Cetusan Ekspresi Kemerdekaan”.
Kegiatan tersebut digelar di Aula Dekenat Lembata, Kota Lewoleba, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada jam 18.30 WITA, dan dihadiri oleh perwakilan komunitas, aktivis, penggiat pemilu, jurnalis, hingga tokoh perempuan.
Acara ini dipandu oleh Ben Assan, anggota Nimo Tafa Institute dan Emanuel Krova, sebagai pemateri.
Dalam pemaparannya, Emanuel mengulas makna kemerdekaan dari perspektif sosial-budaya.
Ia mempertanyakan frasa “dan lain-lain” dalam teks proklamasi, yang menurutnya mencakup dimensi di luar pemindahan kekuasaan politik.
“Ignas Kleden dalam tulisannya menjelaskan bahwa ‘dan lain-lain’ itu merujuk pada kemerdekaan secara budaya. Artinya, kemerdekaan bukan sekadar peristiwa politik, melainkan juga ekspresi total dalam kehidupan sosial dan budaya,” jelas Eman.
Ia menambahkan, meski kemerdekaan sebagai tujuan telah tercapai, kemerdekaan sebagai prasyarat dalam berbagai aspek kehidupan masih menjadi tantangan.
“Setiap tahun kita merayakan, tetapi masih ada kegelisahan seperti kelangkaan minyak tanah, kenaikan harga, atau stagnasi pendapatan ASN. Ini paradoks,” ujarnya.
Dia juga menyoroti kebijakan ekonomi yang berdampak pada pendapatan daerah.
“Jika pertumbuhan ekonomi baik, basis pajak dan retribusi akan membaik. Namun, ini perlu didukung oleh program yang menggerakkan aktivitas ekonomi secara berkualitas,” tegasnya.
Diskusi dari Berbagai Perspektif
Fred Wahon, jurnalis senior yang hadir dalam forum itu menekankan pentingnya hasil diskusi diwujudkan dalam gerakan rakyat untuk mendorong perubahan di Lembata.
Sementara itu, Alexander Taum, jurnalis Media Indonesia, berpendapat ide-ide brilian dari Kelas Demokrasi tak harus menjadi rekomendasi formal, melainkan dapat menjadi pedoman hidup individu.
“Biarkan ide-ide itu tumbuh dalam pikiran kita,” kata Taum.