PROYEK geothermal di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, saat ini menjadi pusat perhatian. Sekarang, kekhawatiran datang dari potensi pencemaran sumber air tanah yang bisa berdampak luas bagi masyarakat setempat.
Warga Atadei, yang mengandalkan sumber air tanah untuk kebutuhan sehari-hari, khawatir bahwa aktivitas pengeboran dan eksploitasi geothermal yang dilaporkan seluas 31.200 hektar itu dapat mencemari air yang mereka gunakan.
Air tanah merupakan sumber utama air bersih di wilayah ini, dan gangguan terhadap kualitas air dapat membawa dampak serius bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Yohanes Kia, salah satu tokoh masyarakat Atadei, mengungkapkan kekhawatirannya,
“Kami bergantung dengan air tanah untuk minum, memasak dan banyak lagi. Umpama proyek ini mencemari sumber air, akan sangat sulit bagi kami untuk bertahan. Kami harap mereka yang punya kuasa bisa kasi jaminan atau menjamin keamanan sumber air itu,” ujarnya kepada katawarga.id, Jumat 19 Juli 2024.
Proyek geothermal ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memanfaatkan potensi energi panas bumi yang melimpah di Lembata.
Diharapkan proyek ini bisa memberikan sumber energi yang bersih dan berkelanjutan bagi daerah tersebut.
Namun, kekhawatiran tentang dampak lingkungan, khususnya terhadap sumber air tanah, menimbulkan pertanyaan mengenai kesiapan dan mitigasi risiko dari proyek ini.
Para peneliti lingkungan menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam proyek geothermal. Pasalnya, pengeboran geothermal memiliki potensi mencemari air tanah jika tidak dilakukan dengan benar. Pengawasan dan penerapan teknologi yang tepat juga sangat penting untuk mencegah dampak negatif dari proyek tersebut.
Evaluasi dampak lingkungan yang menyeluruh juga harus dilakukan sebelum proyek Panas Bumi tersebut dimulai.
“Panas bumi yang diambil juga mengandung mineral dan belerang akan diinjeksi kembali sehingga mengotori air tanah,” ungkap Petrus Pulang, Peneliti Lingkungan, jebolan Magister Lingkungan Universitas Nusa Cendana (UNDANA) ketika dikonfirmasi, Minggu 21 Juli 2024.
Dikutip dari deduktif.id, tentang laporan penelitian berjudul Geothermal di Indonesia yang dirilis oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) lembaga riset yang fokus di bidang ekonomi dan kebijakan publik dan organisasi masyarakat yang fokus pada isu lingkungan yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada awal 2024, termaktub rincian masalah geothermal yang timbul di ragam aspek.
Di aspek ekologis, menurut peneliti CELIOS dan WALHI, kehadiran geothermal sebagai salah satu bentuk energi terbarukan seringkali membutakan mata publik akan berbagai resiko yang mengikutinya.
Dampak kerusakan ekologis dari berbagai proyek geothermal, baik yang masih dalam tahap perencanaan maupun yang sudah beroperasi, telah menuai permasalahan lingkungan serius dan mesti menjadi perhatian banyak pihak.
CELIOS dan WALHI menyebut bahwa penyebabnya tentu tidak bisa terlepas dari metode operasi yang dilakukan demi mendapatkan energi geothermal.
Sebagaimana layaknya proses penambangan, akan ada proses pengeboran dalam operasionalnya. Tujuan dari pengeboran ini, menurut peneliti CELIOS dan WALHI, adalah untuk menghasilkan sumur produksi dan sumur injeksi.
Sumur produksi itu berfungsi untuk mengalirkan gas atau fluida panas dari dalam bumi menuju permukaan. Fluida panas inilah yang kemudian diolah menjadi energi.
Di dalam perut bumi, fluida ini akan bersentuhan dengan batuan panas dan mengalami kenaikan suhu, untuk kemudian dialirkan kembali ke permukaan bumi melalui sumur produksi.
Peneliti CELIOS dan WALHI menyebut kalau proses itu bisa menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan, yang pada akhirnya tidak hanya mengorbankan ekosistem flora dan fauna saja, melainkan juga ruang hidup manusia.
Dampak kerusakan ekologis lain dari proyek geothermal yang diteliti oleh CELIOS dan WALHI antara lain :
Peningkatan risiko seismik. CELIOS dan WAHLI menemukan bahwa masyarakat yang berada di sekitar PLTP kerap merasakan gempa bumi. Hal itu imbas dari operasi penambangan geothermal yang mengakibatkan potensi gempa lebih tinggi.
Pelesakan tanah dan risikonya pada perubahan relief bumi. Aktivitas penambangan panas bumi yang dilakukan terus menerus juga menurut CELIOS dan WAHLI, akan menarik dan menyalurkan air dalam proses operasinya, mengakibatkan kepadatan tanah terganggu.
Kerusakan sistem akuatik. Dalam operasi penambangan panas bumi, kedua lembaga itu mengaku bahwa akan muncul juga dampak berupa pencemaran air tanah, kerusakan tanah, hingga penurunan produktivitas pertanian.
Penambangan geothermal juga berdampak pada aspek ekonomi. CELIOS dan WALHI menemukan beberapa dampak ekonomi yang justru merugikan masyarakat yang tinggal di lokasi dekat area PLTP. Antara lain :
Membuat mata pencaharian masyarakat kian terpinggirkan. CELIOS dan WAHLI juga merilis bahwa kehadiran aktivitas pertambangan geothermal, termasuk proses prakonstruksi, akan menciptakan risiko penurunan pendapatan pariwisata bagi masyarakat.
CELIOS dan WAHLI pun melaporkan bahwa dampak ikutan lainnya dari kehadiran pengembangan Geothermal ini adalah akan berkurangnya pendapatan masyarakat dari produktivitas pertanian. Secara kalkulasi, proyek panjang penambangan geothermal berdampak buruk pada pendapatan petani maupun masyarakat, yang bergantung pada produktivitas pertanian mereka.
Tak hanya itu, pengembangan proyek Panas Bumi itu juga akan mempengaruhi peralihan lahan dan tenaga kerja secara signifikan. Pada tahun-tahun awal, proses pembangunan PLTP menyebabkan adanya peralihan lahan tenaga kerja dari pertanian, ke tenaga kerja sektor konstruksi dan pendukungnya.(Redaksi/)