No Result
View All Result
PERNYATAAN Bupati Lembata, Petrus Kanisius Tuaq, yang mendesak para Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk memiliki KTP Lembata, menuai sorotan tajam. Pernyataan ini dinilai mengandung unsur primordialisme sempit dan bahkan diskriminatif, yang dapat menciptakan kecemasan serta keresahan psikologis bagi mereka yang bukan berdomisili asli Lembata, namun telah lolos secara sah sebagai CPNS di daerah tersebut.
Beberapa kalangan menilai sikap ini tidak selaras dengan semangat kesatuan dan persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum, Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras) Kabupaten Lembata, Elias Kaluli Making, seleksi ASN itu bersifat nasional dan terbuka sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN dan Peraturan Menteri PANRB yang mengatur tentang seleksi CPNS dan PPPK. Selain itu, para Calon PNS telah dinyatakan lolos dalam seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar dan seleksi kompetensi bidang sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 dan pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN.
Karena itu terhadap pesan Bupati Lembata kepada calon PNS sebagaimana ditulis katawarga.id dalam kutipan langsung “kalau tidak punya KTP Lembata, saya tidak akan tandatangan SK” yang kemudian dilanjutkan dengan “Kalau mau jadi bagian dari pembangunan daerah ini, ya lengkap semuanya, termasuk KTP,” Yayasan LBH Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (YLBH Aldiras) menilai Bupati Lembata tidak hanya mengabaikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, tetapi juga melanggar sumpah, janji, kewajiban dan larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Kepala Daerah, dan entah apa yang mendasari Bupati menyampaikan pernyataan dimaksud, tetapi YLBH Aldiras berharap pernyataan itu semoga bukan karena kedangkalan berpikir dan akibat ketidakpahaman Bupati Lembata terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan aturan ikutan lainnya.
Dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud, diulas sebagai berikut :
Pertama; pernyataan sebagaimana dimaksud diatas tidak saja menunjukan sikap arogansi dan bernada diskriminatif tetapi bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bukankah saat dilantik bupati berjanji untuk memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sebaik-baiknya, sedil-adilnya dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat nusa dan bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menghilangkan segala bentuk diskriminasi.
Kedua; persyaratan umum menjadi PNS sebagaimana diatur dalam UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur juga dalam UU nomor Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara point pertamanya adalah Warga Negara Indonesia, yang diperkuat lagi dengan beberapa dokumen sebagai syarat administrasi seperti : Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Ijazah dan Transkrip Nilai, Pas Foto, Swafoto (selfie), Dokumen lain. Undang-undang dan peraturan ikutannya yang mengatur tentang pengadaan PNS tidak tertulis syarat KTP dengan alamat dimana peserta melamar. Tetapi ditulis KTP sebagai salah satu syarat administrasi. Mengapa demikian, karena syarat umum yang juga menjadi syarat utama adalah warga negara, bukan warga masyarakat. Ini dua hal yang berbeda. Warga negara mengandung makna individu yang memiliki ikatan dengan satu negara, sementara warga masyarakat adalah semua orang yang tinggal dalam satu wilayah termasuk didalamnya WNI dan WNA.
Ketiga; seorang PNS diangkat berdasarkan Undang-Undang dan peraturan ikutannya seperti UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU nomor Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan Peraturan Menteri PANRB yang mengatur tentang seleksi CPNS dan PPPK. Karena itu menandatangani SK Calon PNS adalah kewajiban seorang kepala daerah yang menjadi bagian dari kepatuhan terhadap pelaksanaan undang-undang dan peraturan lainya.
Keempat; menolak menandatangani SK Calon PNS adalah sebuah tindakan pengangkangan terhadap sumpah janji Bupati dan Wakil Bupati, juga melanggar kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana perintah Pasal 67 huruf “a” sampai huruf “g” UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. “dan lebih fatal lagi bila Bupati tidak menjalankan kewajiban untuk menandatangani SK calon PNS, itu sama dengan melanggar pasal 76 huruf (a) dan huruf (b) UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,”
Kelima; pernyataan “Kalau mau jadi bagian dari pembangunan daerah ini, ya lengkap semuanya, termasuk KTP,” adalah sebuah pernyataan yang tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 25 tahun 2008 tentang Sistem Pembangunan Nasional. “Perlu dicatat bahwa pembangunan daerah itu bagian dari sistem pembangunan nasional. Pembangunan daerah itu tidak berdiri sendiri. bagaimana Bupati mendefinisikan pembangunan daerah terhadap stakeholder yang ber KTP luar.
Oleh karena hal-hal diatas maka YLBH Aldiras mendesak :
Pertama; Bupati Lembata segera membuat pernyataan media untuk menarik kembali pernyataan yang bernada primordialisme, diskriminatif dan menimbulkan keresahan psikologi calon PNS yang ber KTP luar lembata.
Kedua; Mendesak DPRD Lembata untuk memanggil Bupati Lembata guna meminta pertanggungjawabannya atas pernyataan yang disampaikan.(*)
No Result
View All Result