DINAMIKA politik elektoral menjelang Pilkada di Kabupaten Lembata yang akan berlangsung pada 27 November 2024 mendatang, masyarakat pemilih diharuskan menghindari mobilisasi massa di hari pencoblosan. Pasalnya, akan menghasilkan tingkat partisipasi yang dipaksakan.
Hal ini dipaparkan Eman Krova dalam dialog Media Gathering bertajuk Meneropong Dinamika Politik Elektoral Pasca Pengucapan Sumpah/Janji Anggota DPRD Menuju Pemilihan 2024 di Kabupaten Lembata yang digelar Bawaslu Kabupaten Lembata di Cafe 3G, Lewoleba, Minggu 22 September 2024 malam.
Menurut dia, dalam dinamika politik elektoral, tingkat partisipasi pemilih harus didasarkan pada kesadaran politik masyarakat, bukan hasil dari mobilisasi. Artinya, pemilih harus diberi ruang untuk membuat keputusan sendiri berdasarkan pemahaman mereka terhadap isu-isu dan calon yang bertarung.
“Jika partisipasi pemilih didorong melalui mobilisasi semata, hal ini tidak mencerminkan kualitas demokrasi yang sebenarnya,” ujar Eman Krova.
Eman juga menekankan bahwa partisipasi yang dimobilisasi hanya akan menghasilkan angka statistik yang tinggi namun beresiko mengabaikan esensi partisipasi politik yang sejati, yaitu kesadaran individu dalam memilih.
Bahkan, menurutnya, mobilisasi pemilih yang berlebihan dapat mengarah pada fenomena pemilih instan yang hanya datang ke TPS karena tekanan, iming-iming, atau pengaruh pihak tertentu. Hal ini justru merusak demokrasi karena keputusan yang dibuat bukanlah hasil pertimbangan yang matang.
“Karena akan sulit mengukur tingkat partisipasi itu tinggi karena murni dari kesadaran masyarakat atau karena ada mobilisasi para kandidat yang bertarung,” ungkap Eman Krova.
Pendiri Nimo Tafa Institute ini juga berkata, mobilisasi masa akan tidak bisa dimainkan lagi jika partai politik, para kandidat dan penyelenggaraan pemilu serius serta fokus memberikan pendidikan politik. Upaya ini akan lebih efektif dalam jangka panjang untuk membangun demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Kesadaran politik, menurut Eman Krova, tidak bisa dibentuk dalam waktu singkat, tetapi melalui proses pendidikan yang terus-menerus.
“Kita perlu memastikan bahwa masyarakat memahami pentingnya suara mereka, dampak dari setiap pilihan politik, dan mampu membuat keputusan yang independen,” sebut Eman Krova.
Pernyataan tegas ini muncul di tengah kekhawatiran akan upaya mobilisasi politik yang dilakukan oleh berbagai kelompok untuk mengamankan dukungan pemilih. Karena itu, Eman berharap, partisipasi pemilih dalam Pilkada tahun ini dapat lebih mencerminkan kesadaran politik yang matang di kalangan masyarakat, bukan sekadar angka partisipasi yang dipaksakan.
“Kalau tingkat partisipasi tinggi tapi tidak diikuti dengan atributif yang kualitatif maka apalah gunanya, maka yang terjadi adalah mobilisasi bukan partisipasi, perlu ada indikator yang pasti untuk kita mengukur itu,” ucap Eman Krova.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kabupaten Lembata, Febri Bayo Ala mengaku, partisipasi masyarakat pemilih saat pemilihan merupakan tugas berat.
Bawaslu Lembata sendiri sulit mendeteksi berapa persen pemilih secara sadar memberikan pilihan kepada para calon dan berapa banyak yang dimobilisasi.
Meski demikian, pihaknya meminta sekaligus mengajak masyarakat Lembata untuk cerdas dan selektif menentukan pilihan dengan menghindari mobilisasi dukungan.
Pilkada yang akan datang juga diharapkan tidak hanya menjadi ajang adu kekuatan politik, tetapi momen penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.(Tim-Red/)