DALAM Kelas Demokrasi yang diselenggarakan Nimo Tafa Institute, Eman Krova kali ini membedah secara tajam tema tentang Politik Kewarganegaraan dan Politik Elektoral.
Tema ini menjadi sangat penting untuk mengaktifkan kembali rasionalitas publik, sekurang-kurangnya di Lembata, sebagai bagian dari warga negara republik.
Setelah menguraikan panjang lebar mengenai Politik Kewarganegaraan dan Politik Elektoral, Eman kemudian merefleksikannya dengan situasi politik dari pusat sampai ke daerah hari-hari ini.
Dia sampai pada kesimpulan bahwa para pelaku politik hanya melihat warga negara sebagai deretan angka perolehan suara saja.
“Demokrasi bukan sistem terbaik dalam tata kelola publik, namun demokrasi masih menjadi sistem yang paling mungkin untuk menghasilkan tata kelola publik yang menjamin kesetaraan dan kebebasan bagi warga negara. Karena demokrasi memungkinkan sirkulasi elit dan menghadirkan koreksi politik sistemik,” paparnya dalam Kelas Demokrasi edisi ketiga di Aula Perpustakaan Daerah Gorys Keraf, Lewoleba, Sabtu, 7 September 2024.
Kendati demikian, dalam tataran implementatif ada problem atau ketegangan antara poltik elektoral/electoral politics dan citizenship politics/ politik kewarganegaraan.
Ini sesungguhnya adalah problem dari sistem demokrasi. Karena di satu sisi secara substansial demokrasi harus bertumpu pada “keutamaan warga negara,” di sisi lain prosedur teknis elektoral memungkinkan terjadinya transaksi politik, yang mengabaikan hak hak warga negara.
Sejatinya proses elektoral harus menghadirkan kepastian terpenuhinya hak hak kewarganegaraan.
“Namun yang kita lihat baik pusat maupun daerah adalah para pelaku politik seakan atau cendrung membagi habis warga negara dalam deretan angka angka perolehan suara,” urainya.
Ada indikasi, tandas Eman, kewarganegaraan direduksi ke dalam mekanisme politik pemilu yang berdampak pada kualitas politik elektoral itu sendiri.
Politik elektoral yang harus diwarnai elaborasi lebih jauh atas persoalan publik atau pemenuhan hak hak warga negara justru tidak nampak.
“Kerja politik menjadi sangat dangkal. Ruang ruang publik menjadi miskin akan tema tema yang krusial. Misalnya dalam konteks Pilkada Kabupaten Lembata kita merindukan ada semacam pemaparan atau sejenisnya akan fenomena pembangunan.”
Para pelaku politik seyogyanya menyajikan kepada publik program program strategis atas pembacaan lebih jauh terhadap data seperti; pertumbuhan Ekonomi Lembata tahun 2023 adalah 2,46 persen masih lebih lambat jika dibandingkan dengan Provinsi NTT 3,53 persen dan Nasional 5,05 persen, PDRB per kapita sebesar 2,130 juta rupiah, IPM 66,12 masih di bawah pencapaian IPM nasional yakni 74,39.
Atau perihal Presentase penduduk miskin masih 24,78 persen, Prevelensi Stunting 9,40 persen, Rasio PAD 5,84 persen.
“Hal-hal ini yang harus mengisi ruang ruang publik kita dalam rangka memastikan politik kewarganegaraan dan politik elektoral tidak saling menegasi atau meniadakan,” ujar Eman.
Rasio publik menurut dia harus diaktifkan dengan pertengkaran dan perdebatan akan hal hal yang krusial menyentuh kehidupan warga negara.(Tim-Red/)