RENCANA pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas (PLTP) di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, tengah menjadi sorotan publik.
Proyek geothermal ini diproyeksikan akan menghasilkan energi terbarukan yang sangat dibutuhkan, namun di sisi lain, potensi hilangnya lahan pertanian masyarakat setempat menjadi kekhawatiran utama.
Masyarakat Atadei, yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari pertanian, khawatir bahwa pengembangan proyek ini akan mengurangi luas lahan produktif yang mereka miliki.
Lahan pertanian yang subur di kawasan ini merupakan sumber utama mata pencaharian, dan kehilangan lahan tersebut dapat berdampak langsung pada ketahanan pangan dan ekonomi warga setempat.
Antonius, warga Kalikasa mengutarakan kekhawatirannya akan rencana proyek ini.
“Bertahun-tahun kami masyarakat petani gunakan semua hamparan lahan disini, apalagi info yang kami dengar ada beberapa titik lahan yang berdekatan dengan sumur panas bumi yang nanti mereka bor. Ini kan bisa bahaya karena bisa saja ada pengkaplingan lahan,” ungkapnya, cemas.
Proyek geothermal ini diinisiasi oleh pemerintah melalui PT PLN dengan tujuan memanfaatkan potensi energi panas bumi di wilayah tersebut.
Dengan cadangan energi yang besar, diharapkan proyek ini dapat menyediakan sumber energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan bagi Kabupaten Lembata dan sekitarnya.
Penjabat Bupati Lembata Paskalis Ola Tapobali sendiri mengaku polemik terkait rencana pembangunan PLTP Atadei saat ini masih menjadi perdebatan di tingkatan masyarakat.
Menurut dia, pihak pengembang harus menyampaikan data secara komperhensif terkait manfaat geothermal dan dampak serta ancamannya.
Meski demikian, Paskalis mengaku bahwa pihaknya akan tetap mendukung rencana pembangunan PLTP Atadei. Namun, sekali lagi, dia menghendaki agar PLN sesegera mungkin menyampaikan secara terang apa sisi untung dan rugi dari keberadaan proyek panas bumi Atadei nanti.
“Sehingga orang punya kekhawatiran. Jangan sampe aspek geologinya mempengaruhi, berdampak pada air tanah, berdampak pada lingkungan yang ada di sekitarnya. Sementara aset (lahan-red) mereka kan cuma itu. Tanahnya, lalu tumbuh-tumbuhan yang ada jangan sampai terjadi deforestasi atau kehilangan mata pencaharian mereka dengan adanya proyek ini,” ungkap Paskalis seperti dikutip dari NTT Express, Selasa 24 Juli 2024.
Para ahli lingkungan juga mengingatkan pentingnya keseimbangan antara pengembangan energi terbarukan dan perlindungan lahan pertanian.
Menurut mereka, jika proyek itu dibiarkan berjalan tanpa ada kalkulasi jelas antara kawasan pertanian dan kawasan industri maka akan menemukan masalah.
Hengki Ledjab dan Ance Ledjab, perwakilan dari masyarakat Atadei dan pemilik lahan ini menolak ekploitasi panas bumi di kawasan Atadei.
Hengky berujar, jarak pengeboran sumur panas bumi dengan lahan pertanian masyarakat dan pemukiman warga setempat sangat dekat atau berbatasan langsung dengan PLTP.
Tak hanya itu, jarak ekploitasi yang bakal dijalankan pengembang ini juga menurut dia cukup dekat dengan Dapur Alam Karun di kampung Watuwawer.
Hal ini kemudian membuat Hengky menolak rencana pembangunan Mega Proyek yang dikabarkan bernilai 1,2 triliun ini.
“Saya mengikuti studi banding ini tapi dalam studi banding itu tidak menjelaskan pengeborannya bagaimana. Padahal itu yang kita mau tau. Tadi saya lihat tidak ada kebun-kebun di sekitar PLTP itu. Itu hutan semua. Hutan lindung ada pohon pinus. Sedangkan di Atakore (red-Atadei) lahan masyarakat semua yang mereka cari hidup dari situ,” ungkap salah satu perwakilan masyarakat Atadei yang ikut Studi Banding ke Kamojang ini, seperti dilansir dari NTT Express, Selasa 24 Juli 2024.
Selain Hengky, penolakan rencana pembangunan PLTP Atadei juga datang dari Ance Ledjab. Pasalnya, saat ini kecemasan masyarakat Atadei dengan rencana kehadiran proyek panas bumi itu belum terurai dengan jelas.
Masyarakat Atadei juga menurutnya belum sepenuhnya mengerti tentang pembangunan PLTP tersebut.
Tak hanya itu, Ance yang terlibat dalam rombongan Studi Banding ke PLTP Kamojang, Jawa Barat itu juga mengaku bahwa, kegiatan itu semata-mata hanya menjelaskan tentang master plan PLTP dan sistem kelistrikan PLTP saja.
Sementara itu, kepanikan orang di kampung-kampung di wilayah Atadei tentang dampak Geologi, Geofisika, Geokimia, dan Kebencanaan terhadap kehadiran PLTP Atadei, menurutnya sama sekali tidak dipaparkan oleh pihak PLN.
“Orang geologi yang hadir juga belum memberikan sebuah kesimpulan atas perbandingan beberapa hal seperti stratifikasi batuan, patahan yang di ada di Atadei, iklim dan curah hujan, ketersedian air tanah, kandungan gas beracun seperti H2S dan lainnya. Itu belum dikantongi sehingga dia belum bisa memberikan sebuah kesimpulan sementara,” papar Ance seperti dilansir NTT Express, Selasa 24 Juli 2024.
Lebih jauh, sarjana pertambangan ini mengakui bahwa studi banding yang difasilitasi PT PLN itu tidak ada guna karena mereka belum mendapat informasi lengkap. Bagi dia, kesimpulan hanya bisa diambil kalau ada data yang lengkap dan jujur.
Ance sendiri bahkan menegaskan agar studi banding ke PLTP Kamojang beberapa waktu lalu itu jangan dipakai oleh pihak tertentu untuk melegitimasi bahwa masyarakat Atadei sudah menerima rencana pembangunan proyek geothermal.
“Sedangkan pejabat kita sudah mengatakan secara teknis semua sudah clear (red-tidak punya dampak). Ini bagaimana ini ?,” gugatnya.(Redaksi/)