Oleh: Gregorius Duli Langobelen
(Analis Sosial & Politik, Dosen Filsafat dan Etika UNIKA Atma Jaya Jakarta)
DISKURSUS publik terkait problem kemanusiaan kematian bayi asal Desa Kolontobo akhirnya jadi pintu masuk untuk meributkan banyak hal urgent terkait Lembata.
Saya benar-benar bingung dan muak, kenapa masalah kematian bayi mati-matian dikomentari oleh pendukung politik dr. Jimmy Sunur sebagai masalah medis yang dipolitisir. Dia kan dokter spesialis kandungan, bukan dokter politik. Jadi arah diskusi harusnya fokus pada substansi dan tanggung jawab pelayanan publik di dunia medis. Beberapa pihak yang terkait, misalnya: pihak RS Damian, Puskesmas Waipukang, Kades Kolontobo beserta Bidan, dr. Jimmy, serta K24.
Kalaupun tak dapat dihindari persinggungannya dengan realitas politik, sedapat mungkin gagasan yang ditawarkan adalah yang relevan dan menyentuh akar persoalannya, sehingga dapat membantu penyelesaian inti kasus, sebagaimana tujuan catatan ini dibuat.
Media fajartimor.net misalnya berani membuka cakrawala diskusi dengan artikelnya berjudul ‘Diduga Dokter Spesialis Itu Jadikan Pasien Sebagai Lahan Bisnis.’ Ada beberapa pertanyaan penting di dalamnya, misalnya: dari mana surat rujukan ke Damian itu dibuat? Kalau pasien diperiksa di K24, apa bisa rujukan dikeluarkan dari Puskesmas Waipukang? Dari mana dokter pemberi rujukan mendapatkan informasi untuk membuat surat rujukannya? (fajartimor.net).
Namun, di banyak kesempatan, tidak sedikit yang cenderung tersinggung bahkan selalu menggiring opini publik seakan mereka atau pun dr. Jimmy yang dirugikan secara politis, padahal pada saat yang sama justru merekalah yang menggiring pertama kali diskursus ini ke ruang politik lewat akun medsos sahabat dr. Jimmy.
Lebih dari itu secara serakah dan serampangan mereka hanya menempatkan kasus ini sebagai persoalan formalisme atau legalisme hukum semata, tanpa peduli apalagi paham bagaimana de facto hukum bekerja mewujudkan keadilan. Apakah kehadiran mereka ini sebagai bentuk dukungan oplosan dari kalangan partisan? Kenapa semua hal melulu dipolitisir ?
Kita mesti sadar bahwa modus operandi para partisan tersebut justru berdampak pada pembungkaman diskusi publik dan dengan demikian suatu kasus tak bisa dibongkar tuntas. Padahal, publik perlu mengetahui apa yang sebetulnya terjadi dan siapa saja yang paling bertanggung jawab.
Pereduksian substansi de fakto hukum hanya ke dalam kerangka prosedural legalisme seperti ini amat berbahaya, karena keadilan akhirnya akan menjadi suatu yang semata-mata formal: bentuk yang kehilangan isinya. Formalisme seperti ini persis dengan pengalaman orang-orang munafik semacam para Farisi yang melihat religiusitas hanya sebagai ketelitian menjalankan segala perintah dalam agama tanpa peduli lagi dengan motivasi pribadi ata tanggung jawab etis yang menggerakkan tindakan tersebut (Bdk. Ignas: 2004)
Akan hal tersebut, penulis mau mengatakan bahwa :
Boleh dukung siapapun dalam pilkada mendatang. Dukungan kita akan berpengaruh pada penyelesaian semua akar masalah pembangunan di Lembata. Tapi, kita pun mesti membuka mata dan melihat realitas kehidupan politik yang sedang dialami hari-hari ini, yaitu konstituensi tanpa kompetisi. Sehingga dukungan kita tidak sekadar diarahkan oleh aspek emosional atau simpati subjek semata, melainkan digerakkan oleh pertimbangan rasional dan kesadaran obyektif ketokohan.
Cukup banyak politisi yang alami krisis ketokohan dimaksud dan bahkan ada bacalon bupati yang belum memenuhi persyaratan minimum SDM di bidang politik atau birokrasi, baik karena tingkat pendidikannya kurang memadai; tanggung jawab etis yang rendah; semangat advokasi sosial yang mati-mati angin; hingga terutama pengalaman politik yang terlalu terbatas.
Padahal tidak ada infrastruktur politik berupa jalan tol untuk seseorang jadi pemimpin, kecuali kalau ada sekarung akumulasi modal finansial yang dipakai untuk membangun jalan pintas yang mahal tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit pemimpin kita d Lembata menduduki suatu jabatan tanpa diimbangi dengan kinerja yang signifikan. Justru sebaliknya. Umumnya keterpilihan mereka menjadi pimpinan legislatif ataupun eksekutif tidak disebabkan oleh kemampuan dalam menjalankan pekerjaan politik, tetapi lebih karena mereka dapat mengusahakan dukungan politik yang memberikan suara untuk mereka.
Kehadiran dr. Jimmy dalam Pemilukada Lembata menyiratkan satu indikasi kuat dan tak beda jauh dari identifikasi kenyataan problematis di atas. Secara formalis memang dia berhak, tapi urgensi de facto dari pencalonannya minim sekali.
Nama dr. Jimmy justru muncul bukan karena adanya tawaran gagasan baru atau wacana visioner lain yang sungguh signifkan dibutuhkan rakyat Lembata, tapi hanya karena dikenal punya akumulasi modal finansial pribadi yang cukup dalam memenuhi cost politik, sesuatu yang hampir tidak dimiliki tokoh potensial lain, seperti Broin Tolok, Mon Odel, Sinun Petrus Manuk atau tokoh lain yang tidak disebutkan di sini.Ini sungguh memprihatinkan.
Dominasi calon tertentu hanya pada aspek biaya akan mempengaruhi sirkulasi kompetisi. Dominasi yang demikian bisa menurunkan kualitas kesehatan demokrasi kita. Sebab, bukan kekayaan finansial calon yang dibutuhkan publik Lembata untuk memperbaiki segala yang telah timpang. Dulu logika kampanye Yance Sunur pun tidak beda jauh.
Karena itu, masih ada opsi fundamental lain. Cukup sudah tanah Lembata ini dibikin tumbang.